Jumat, 31 Agustus 2007

Mendidik Anak dengan Al-Quran

Oleh: Abdullah

Sejak wahyu pertama diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, pendidikan terhadap umat Islam mulai berlaku. Hingga akhir zaman, sesungguhnya, umat Islam tidak pernah lepas kehidupannya dari pendidikan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman pada ayat pertama yang di turunkan-Nya:

“Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang belum diketahuinya.” (Al-‘Alaq: 1-5)

Pada ayat lain, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang berselimut. Bangunlah, dan beri peringatan. Dan besarkanlah nama Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu. Dan tinggalkanlah dosa. Janganlah engkau memberi supaya mendapat yang lebih banyak. Dan bersabarlah (menurut perintah Tuhanmu).” (Al-Mudatsir: 1-6)

Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, yang dikutip oleh Didin Hafidhuddin dalam Dakwah Aktual; 1998, menyimpulkan isi kandungan ayat-ayat di atas, menurutnya paling tidak mengandung empat macam pendidikan.

Pertama, pendidikan Akidah. Yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan mempersekutukan dengan berhala, Sebab itu, hendaklah dihilangkan berhala itu sejauh-jauhnya dari kehidupan muslimin. Kedua, pendidikan aqliyah dan ilmiah. Yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah (‘alaq) dan kejadian alam semesta. Karena alam akan mengajarkan pendidikan kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya. Untuk mempelajari hal itu haruslah banyak membaca dan menyelidiki serta memakai pena untuk mencatat.

Ketiga, pendidikan akhlak dan budi pekerti. Terutama bagi si pendidik, hendaklah mengajar tanpa mengharapkan balasan dari orang yang di ajarnya, melainkan ikhlas karena Allah semata dengan mengharapkan keridhaan-Nya. Hal ini diharapkan menurun kepada anak didiknya, sehingga akan melahirkan manusia-manusia cerdas yang berakhlak dan budipekerti baik, sesuai nilai-nilai Islam. Dan keempat, pendidikan jasmani. Yaitu mementingkan kebersihan; bersih pakaian, bersih badan—termasuk bersih hati, dan bersih tempat kediaman, sehingga menjadi contoh dan teladan bagi anak didik.

Dengan demikian pendidikan memegang peranan penting dalam pembinaan umat Islam agar mereka dapat meraih status khaira ummah.


Menghindari Anak Dari Kegilaan Masa Kecil

Al-Ghazali menyatakan, “Anak adalah amanah di tangan ibu-bapaknya. Hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya. Apabila ia dibiasakan pada suatu yang baik dan dididik, niscaya ia akan tumbuh besar dengan sifat-sifat baik dan akan bahagia di dunia akhirat. Sebaliknya, bila ia dibiasakan dengan tradisi-tradisi buruk, tidak dipedulikan seperti halnya hewan, niscaya ia akan hancur dan binasa.”

Anak tak ubahnya selembar kertas putih. Apa yang pertama kali ditorehkan di sana, maka itulah yang akan membentuk karakter dirinya. Bila yang pertama ditanamkan adalah warna agama dan keluhuran budi pekerti, maka akan terbentuk antibody (zat kebal) awal pada anak akan pengaruh negative, seperti benci kesombongan, rajin ibadah, tidak membangkang pada orang tua, dan sebagainya. Sebaliknya, bila pertama tidak ditanamkan warna agama dan keluhuran budi pekerti, maka yang akan muncul adalah antibodi terhadap pengaruh positif, seperti malas beribadah, malas belajar, gila pujian, angkuh, dan sebagainya. Jika hal demikian dibiarkan, maka (setelah dewasa) sukarlah untuk meluruskannya. Pepatah bijak menyatakan, “Barangsiapa membiasakan sesuatu semenjak kecil maka dia akan terbiasa dengannya hingga dewasa.”

Menurut Ahmad Syarifuddin dalam bukunya “Mendidik anak; Membaca, Menulis dan Mencintai Al-Qur’an”, menyatakan, para ulama mengatakan ada penyakit berbahaya yang biasa hinggap pada kalangan anak kecil yang disebut dengan penyakit “jununus shaba” (kegilaan masa kecil), yaitu satu kecenderungan buruk, noda hitam kedurhakaan, dan bibit kesesatan pada anak yang berasal dari semaian hawa nafsu maupun setan. Penyakit ini kerap berjangkit pada anak yang tidak ditanamkan pendidikan yang baik sejak dini kepadanya.

Atas dasar ini mendidik anak sejak dini merupakan hal yang sangat perlu dan mendasar dilakukan. Seluruh elemen masyarakat khususnya orang tua hendaknya tidak mengabaikan hal ini. Apalagi “belajar di waktu kecil laksana melukis di atas batu dan belajar di waktu besar laksana melukis di atas air”. Mengenai pentingnya faktor pendidikan ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (QS: At-Tahrim: 6)

Mengenai makna yang dikandung ayat ini, sahabat Ali bin Abu Thalib ra., berkata, “Ajari dan didik anak-anakmu pendidikan yang baik.” Sedangkan Hasan Al-Bashri berkata, “Suruhlah mereka taat kepada Allah dan didiklah mereka ajaran kebaikan.”

Kandungan ayat tersebut dikuatkan dengan hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, “Setiap kamu adalah penggembala (pemimpin) dan setiap kamu pasti akan diminta pertanggungjawaban dari gembalaannya…seorang laki-laki (ayah) adalah penggembala dari keluarganya dan akan diminta pertanggungan jawab dari gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Menjaga Fitrah Anak

Pendidikan pada anak juga berfungsi agar kehanifan anak (kelurusan dalam meniti kebenaran) tetap terjaga. Keberagamaannya bagus. Ia senantiasa akrab dan dekat sekaligus teguh dengan kebenaran. Cahaya hikmah senantiasa menyertainya. Sedangkan tipu daya setan yang hendak menghilangkan kehanifan itu bisa dihindari. Dalam hadits qudsi dinyatakan.

“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku secara hanif (lurus, cenderung kepada fitrah, beragama Islam) seluruhnya. Sesungguhnya setan-setan datang lalu mengalihkan hamba-hamba-Ku itu dari agama mereka semula (Islam).” (HR. Muslim shahih Muslim II/650 no 2865)

Pihak yang bertanggungjawab penuh dalam memperhatikan aspek pendidikan anak ini adalah orang tua. Orang tualah yang mengukir anaknya sendiri dengan pendidikan itu. Dia menjadikan anaknya saleh, tidak saleh, atau kafir, bergantung kemauannya. Rasulullah bersabda:

“Setiap bayi dilahirkan atas fitrah (tauhid, iman). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari I/240)

Karena dominasi peran ini, hendaknya orang tua serius memperhatikan akan-anaknya dalam rangka melestarikan fitrahnya, menjaga kehanifah agamanya, dan menanamkan padanya warna budi pekerti yang luhur, sehingga kelak anak menjadi generasi penerus yang tangguh, kokoh, dan kuat mentalitas keimanannya. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nissa: 9)

Ayat ini bermakna seruan terhadap orang tua agar tidak meninggalkan generasi penerus (anak-anak) yang lemah, tidak saja dari segi materi (ekonomi), namun yang lebih rawan adalah kelemahan dari segi mental spiritual. Menurut pandangan akidah Islam, mental yang lemah dari suatu generasi sangat dikhawatirkan, dibandingkan sekedar lemah secara materi. Dan jalan untuk mengokohkan mental yang elegan adalah melalui perhatian terhadap aspek pendidikan anak-anak tersebut.


Takhtim

Memasuki era globalisasi dengan segala perangkatnya (kemajuan teknologi, komunikasi, dan informasi), setiap orang tua memerlukan perhatian yang ekstra terhadap pendidikan anak-anaknya. Selain membawa harapan positif, era globalisasi juga melahirkan tantangan baru terhadap pembentukan kepribadian anak. Para pakar menyatakan tidak ada lagi ideologi-ideologi besar dunia saat ini yang mampu menghadang arus negafit dari globalisasi yang melanda dunia saat ini, kecuali agama (Islam). John Naisbit dan Patricia Aburdene, dalam buku Megatrend 2000, menyatakan bahwa era baru ini merupakan era kebangkitan agama, dalam artian agama merupakan alternatif bagi umat manusia untuk dapat mempertahankan identitas kemanusiaan. (Didin Hafidhuddin, 1998).

Sebab itu, membentuk generasi yang berkualitas merupakan tanggungjawab moral bagi setiap orang tua. “dzurriyatan dhiafa khafu ‘alaihim” generasi lemah yang dikhawatirkan kesejahteraan mereka, tidak bisa diartikan secara sempit hanya dilihat dari segi materi tanpa memperhatikan segi imateri (moral dan akidah). Moral dan akidah ini justru merupakan hal yang sangat esensi, karena meninggalkan generasi yang sejahtera harus dilihat dari segi manusia seutuhnya. Dan TAKWA merupakan kunci dasar pembinaan terhadap pribadi dan keluarga dalam upaya menciptakan generasi yang berkualitas tersebut.

www.jamaahmuslimin.com

Minggu, 26 Agustus 2007

Memindahkan Hati Ke Akhirat

“Barangsiapa mengharapkan akhirat, kemudian berusaha untuk mendapatkannya sedang ia seorang Mukmin, maka usahanya akan diganjar.” (QS. al-Israa’:19)

Kita ini dalam perjalanan pulang. Pulang ke kampung Akherat. Tapi orang-orang bodoh, mereka bekerja mati-matian untuk bekal dunia. Orang-orang seperti itu, adalah orang-orang yang tertipu. Dan lebih bodoh lagi kalau ada orang yang mau berjihad fii sabilillah tujuannya dunia. Ngeri orang seperti itu. Akibat sikap orang-orang seperti ini, akhirnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam giginya patah dalam perang Uhud.

Pemanah-pemanah dalam perang Uhud itu turun rebutan ghonimah. Minhum man yuriidu dunya minhum man yuriidu akhiroh. Para perindu akhirat inilah yang menjadi perisai-perisai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menghendaki akhirat pada waktu itu, adalah Anas bin Nadhr. Yang ketika dia mati, di dadanya terdapat lebih dari tujuh puluh lubang antara luka pedang tombak dan panah.

Ibnul Qoyyim al Jauziyah mengatakan, “Kalau hati ini sehat dari penyakit ini, maka hati kita ini akan pindah ke akhirat.” Jasadnya saja di dunia. Itulah orang yang akalnya sehat. Dia sadar bahwa dia sekarang sedang berjalan ke akherat. Dia tamak sekali menumpuk kekayaan untuk akherat. Seperti tamaknya ahli dunia menumpuk harta kekayaan di dunia. Sebagaimana ‘Aisyah rodliyallahu ‘anha. Beliau itu menabung, sampai mendapatkan seratus ribu dirham dan dia punya daftar nama-nama orang yang hendak dibagi-bagi. Tatkala beliau mendapat seratus ribu dirham itu, senangnya bukan main. Senang bukan karena tamak dengan dunia, tapi tamak dengan akherat. Target nama-nama yang beliau kumpulkan terpenuhi. Kakaknya Asma’, ibunya Abdullah bin Zubair lain lagi. Beliau tidak mau menabung sebagaimana ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. Pokoknya harta yang didapatkan hari itu, habis ‘Isya harus habis. Semuanya disedekahkan sebelum tidur, besoknya mencari yang baru. Besok pagi adalah urusan besok pagi. Sikap Asma’ ini sama nilainya dengan ‘Aisyah.

Benar kata Ibnul Qoyyim al Jauziyah ini, kalau hati kita sehat akan berpindah ke akherat. Pindah dari barang-barang kecil di dunia ini kepada sesuatu yang tinggi. Dan mulai di akherat. Bagaimana caranya agar hati kita pindah dari dunia ke akherat? Kalau kita berkumpul hanya membicarakan masalah dunia, meetingnya hanya masalah dunia dan tak pernah ngaji, tidak pernah membicarakan halal haram, maka hati kita akan semakin mendalam terhadap dunia. Maka hati akan menjadi sakit.

Seorang ‘Alim berkata: “Kasihan ahlu dunia, keluar dari dunia tidak pernah merasakan sesuatu yang paling nikmat di dunia.” Sebagian orang bertanya, “Apa sesuatu yang paling nikmat di dunia itu?” Berkata, “Mahabatullah.” Merasa tenang tatkala berinteraksi dengan Allah, rindu segera bertemu dengan Allah, dan merasa nikmat tatkala dzikir kepada-Nya dan melaksanakan ketaatan-Nya.

Berikutnya, ciri orang-orang yang merasakan sesuatu yang paling nikmat di dunia adalah merasa nikmat tatkala berinteraksi dengan Allah. Dia merasa nikmat tatkala bangun jam dua malam melaksanakan qiyamul lail. Merasa tentram dan tenang. Kemudian rindu ingin segera bertemu dengannya. Alkisah, para mujahidin Arab, sebagian dari Yaman, Syiria, Qathar, dan Saudi, yang tadinya ikut jihad di Afghanistan, merasa sedih karena di jihad di Afghanistan usai. Mereka merasa sedih dan seakan tak punya harapan lagi untuk meraih manisnya mati syahid. Seperti pedagang pasar yang pasarnya sepi. Mereka berkata, “Kalau jihad sudah tak ada bagaimana nasib kita ini?” Jadi mereka sedih karena jihad sudah usai. Jadi akhirnya mereka pulang ke negerinya masing-masing di jazirah Arab.

Kemudian mereka mendengar ada tragedi pembantaian umat Islam di Bosnia. Mereka mendengar bahwa di Bosnia ada jihad. Mereka merasa senang sekali pergi ke sana. Mereka berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru dunia. Senangnya mereka itu seperti senangnya ahlu dunia mengejar pasar. Kenapa mereka bisa seperti itu, karena rindunya akan segera bertemu dengan Allah sudah tak tertahankan.

Orang-orang yang hatinya telah pindah ke akherat, mereka merasa nikmat dengan ketaatan yang ia laksanakan. Kenikmatan yang besar karena ia selalu ingat Allah, merasa diawasi oleh-Nya. Orang-orang seperti inilah yang patut mengatakan, “Kasihan ahlu dunia. Mereka tidak bisa merasakan sesuatu yang paling nikmat di dunia. Cita-citanya sangat dangkal!”

Kepada para perindu akherat lah kita seharusnya ‘mendongak’ dan iri dengan watak mereka.

Sepotong Malam untuk Seluruh Kehidupan

Untuk apa malam-malam itu? Sepertiga akhirnya. Saat Allah turun ke langit bumi. Tentu, untuk beribadah, memohon, mencari kekuatan dalam munajat dan pengharapan. Dalam shalat malam, do'a dan juga istighfar.

Tiga hal berikut, barangkali merangkum pemaknaan munajat di ujung malam itu. Meski bahasan soal ini punya ruang dan tempatnya yang lain dan lebih luas.

1. Makna Personal, Menyambut esok dengan kesegaran hati.

Hubungan komunikasi di ujung akhir malam dengan Allah SWT dalam shalat dan munajat, istighfar dan do'a, memberi kekuatan nyata bagi kita dalam menyambut hari esok. Ini mungkin terasa sangat abstrak. Tapi pada dasarnya tidak. Bahkan ini bisa dibilang wilayah efek yang berbentuk fisik dan material, bahkan sangat personal, dari komunikasi dengan Allah di ujung malam. Rasulullah menjelaskan, barangsiapa yang pada malam harinya bangun shalat malam, maka pada pagi harinya, ia akan bangun dalam keadaan penuh semangat, bersih jiwanya serta telah mendapatkan kebaikan. Sebaliknya, yang tidak melakukan itu, akan mendapati dirinya di pagi hari dalam keadaan malas, kotor jiwanya serta tidak mendapat kebaikan.

Disinilah, sesungguhnya seorang mukmin mengambil energi untuk pagi harinya, dari sumber yang sangat menyegarkan di ujung malamnya. Secara batin, bahkan secara lahir. Karenanya dalam riwayat lain, Rasulullah menegaskan bahwa shalat malam atau Qiyamullail bisa menjauhkan badan dari penyakit.

Rasulullah SAW bersabda, "Hendaklah kalian mengerjakan qiyamul lail, karena qiyamullail itu kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, sebab qiyamullail mendekatkan diri kepada Allah, mencegah dari dosa, menghapus kesalahan-kesalahan dan mengusir penyakit dari tubuh." (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim, hadits ini sesuai dengan syarat Al-Bukhori).

Lebih jauh, Muhammad Sholeh, seorang dosen IAIN Surabaya, melakukan penelitian panjang tentang shalat malam dan hubungannya dengan manfaat kesehatan. Hasilnya, shalat tersebut bisa membebaskan seseorang dari serangan jantung dan penyakit kanker.

Dalam desertasinya yang berjudul "Pengaruh Shalat Tahajud terhadap Peningkatan Perubahan Response Ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi", ia menjelaskan bahwa seorang muslim yang melakukan shalat malam secara rutin, benar, khusyuk dan ikhlas niscaya terbebas dari infeksi dan kanker. Dengan desertasi itu, Sholeh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran pada Program Pascasarjana Universitas Surabaya.

Masih menurut Sholeh, qiyamullai jika dilakukan secara kontinyu, tepat gerakannya, khusyuk dan ikhlas, secara medis shalat itu menumbuhkan respons ketahanan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfositny yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi. Sekali lagi, ia menitikberatkan pada aspek kesinambungan (rutin) sholat qiyamullail itu, ketepatan gerakan, kekhusyukan dan keikhlasannya dan bukan sekedar menggugurkan sunnah.

Mengenai ikhlas sendiri, menurut Sholeh, bisa diukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya antara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari atau setelah pukul 24.00 normalnya antara 69-345 nmol/liter. Maka, menurutnya, kalau jumlah hormon kortisolnya tidak normal, bisa diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan.

Memang, tujuan ibadah tidak boleh untuk kepentingan medis. Ibadah harus dilakukan secara ikhlas sebagai wujud penghambaan kepada Allah. Manfaat-manfaat fisik itu hanyalah hikmah. Tetapi, manfaat-manfaat itu setidaknya dapat menjelaskan sisi lain, tentang bertemunya fitrah ideologis seorang muslim dengan fitrah fisiknya. Sesuatu yang harus menambahkan bobot keimanan dalalm dirinya.

2. Makna Sosial, Dari sini pertarungan dimulai.

Pertarungan manusia dengan syetan memang terjadi sepanjang waktu. Tapi, sesungguhnya di ujung malam itu, sejak itulah pertarungan untuk sebuah hari dimulai. Sebab, ketika tidak bisa bangun malam, ia akan kehilangan kesempatan berharga untuk berjumpa dengan Allah melalui munajat dan do'a. Sebuah ritual yang memberikan kita puncak kekuatan, kesegaran, dan spirit baru bahkan untuk menghadapi kehidupan dunia ini.

Rasulullah menjelaskan, "Syetan mengikat tengkuk leher setiap orang dari kalian jika ia tidur dengan tiga ikatan. Syetan menepuk setiap ikatan dengan berkata (kepada orang tersebut), 'Engkau masih punya malam panjang, karena itu tidurlah'."(HR. Bukhori Muslim)

Lebih jauh Rasulullah menjelaskan, "Jika orang tersebut bangun lalu menyebut Allah, lepaslah (satu) ikatannya. Jika ia berwudhu, terlepaslah lagi ikatan (kedua)nya. Jika kemudian ia shalat, maka terlepaslah semua ikatannya." (HR. Bukhori Muslim)

Sisi kedua ini, memberi penekanan pada aspek pertarungan yang pasti akan dihadapi seorang muslim melawan syetan. Terlebih pada perjalanannya di siang hari, mengarungi hidup. Dan, itu semua memerlukan bekal. Pada seluruh transaksi hidup kita di siang hari, begitu banyak celah-celah syetan. Pada perdagangan yang kita lakukan, jual atau beli, pada tugas-tugas pekerjaan yang kita jalankan, mengajar, memimpin departemen, mengurus perusahaan, menjaga barang di toko, mengisi soal-soal ujian, mengawasi kekayaan atau titipan orang, dan seterusnya, semuanya memiliki seribu satu macam celah untuk disesatkan syetan, bahkan pada detik-detik yang tak pernah diduga sebelumnya.

Perhatikanlah kisah seorang ibu yang tega membunuh seorang anak SD, setelah merampas kalung anak itu. Seperti juga kejadian serupa lainnya, ibu itu tak pernah merencanakan akan membunuh. Lintasan untuk membunuh itu begitu cepat datang, bersama dorongan syetan, pada detik sesaat setelah sebelumnya dorongan merampas kalung itu hadir pada detik lainnya. Tidak ada skenario, tidak ada rencana, tidak ada kehendak di jauh hari, detik itu adalah celah syetan-syetan itu. Na'udzubillah

Memaknai urgensi bertemu Allah di ujung malam, dalam konteks ini, sesungguhnya memberi kita pemahaman lain, tentang pentingnya menyelesaikan begitu banyak problema kehidupan siang, dengan sepotong seremoni malam. Dengan kata lain, qiyamullail dan bermunjat kepada Allah pada penghujung sepertiga malam, adalah cara keimanan menyelesaikan begitu banyak masalah-masalah sosial kita.

Sebab, problem sosial dengan segala format interaksinya di siang hari, adalah lapangan raksasa, tempat segala kehendak bertarung. Tempat syetan dan hawa nafsu manusia mengaduk-aduk jiwa banyak orang, lalu melemparkannya dalam kegamangan dan keputusan-keputusan yang salah dan berakibat fatal.

3. Makna Spiritual, Di sana ada kamar, luarnya terlihat dari dalam, dalamnya terlihat dari luar.

Bertemu Allah, di ujung malam, tentu dan pasti, memberi makna lain selain kedua hal diatas. Makna spiritual. Bahkan inilah utamanya. Meski antara satu dengan yang lain tak dapat dipisahkan. Tapi ada pengertian penghambaan, ia memberi penekanan makna yang lebih mendalam.

Pengharapan itu bahkan melayang jauh, nun jauh disana, pada hamparan surga Allah yang dijanjikan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. "Sesungguhnya, di surga itu ada kamar yang sisi luarnya terlihat dari dalam dan sisi dalamnya terlihat dari luar. Disediakan untuk mereka yang memberi makan orang-orang yang perlu makan, menyebarkan salam, serta mendirikan shalat pada saat manusia terlelap dalam tidur malam." (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya)

Al-Qur'an bahkan dengan jelas menyebutkan:"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam." (QS. Adz-Dzariyat :15-17)

Dari ujung malam itulah benih-benih pengharapan ditanam, disemai, dan ditumbuh suburkan. Selain tentu saja, pengharapan akan ampunan, maaf dan penjagaan dari dosa. "Hendaklah kalian mendirikan qiyamullail. Sebab itu adalah jalan orang-orang shalih sebelum kalian, sarana bertaqarrub kalian kepada Allah, penghapus kesalahan dan pelindung dari tindakan dosa".

Di sana, di ujung malam itulah kita menjaga stamina harapan. Sebab disana kita belajar mengeja yang tampak bagaimana menjadi seperti nyata. Belajar merasa bagaimana yang tak terlihat menjadi seperti ada. Tentang akhirat, surga itu, dan kengerian neraka itu.

Kekuatan spiritual itulah yang akan memberi kita 'kaca mata' batin, yang menjaga kita, esok harinya, siang atau sorenya, untuk tidak silau dengan segala gemerlap dunia. Sebab, nyatanya yang gemerlap itu yang bisa diraba, dirasa dan dilihat mata. Mempesona jutaan orang, bahkan menenggelamkannya.

Hanya yang rajin berjumpa dengan Allah, saat Ia turun ke langit bumi, yang mata batinnya akan mengalahkan mata kepalanya. Akan selalu terlihat di depan matanya kehidupan nun jauh disana, kampung akhirat yang pasti dan abadi selamanya. Ia mungkin memegang sebagian dunia, kesenangannya yang halal, ladangnya, kuda-kuda pilihan, juga wanitanya yang halal. Tapi hatinya tidak ditambat disini, di taman dunia ini. Tapi ia ikatkan disana, di pengharapan kampung akhirat sana.

Di setiap penghujung malam, pada sepertiga terakhirnya, selalu dan selamanya, Allah menanti hamba-hamba-Nya yang hendak memohon atau meminta. Sebuah kemurahan dari Zat Yang Maha Pemurah. Bila pagi mulai bercahaya, bertanyalah setiap kita, adakah peraduan semalam, di hadapan Allah Yang Maha Penyayang?

Ini tak sekedar soal membuka mata, bangun, lalu shalat atau bermunajat di malam yang gelap. Lebih dari itu, ini adalah kadar yang bisa kita ukur dengan jujur, sejauh mana sesungguhnya daya tahan kita mengarungi hidup, yang sebagian nafasnya harus kita hirup dari ujung-ujung malam itu.

Dikutip dari : Majalah Tarbawi Edisi 71 Th. 5

Senin, 20 Agustus 2007

Generasi Al-Muzammil

Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Ummul Mukmin Aisyah ra bahwa Allah telah mewajibkan qiyamullail kepada Rasulullah Saw. di awal surat ini. Beliau dan para sahabat telah menegakkannya di sebagian malam sehingga kaki-kaki mereka bengkak. Setelah genap dua belas bulan, Allah memberikan keringanan dengan diturunkannya ayat kedua puluh dari surat ini pula. Maka berubahlah hukum qiyamu lail yang tadinya wajib menjadi satu ibadah yang sunnah.

Surat Al Muzammil turun pada marhalah bina’. Marhalah penggemblengan ruh. Para sahabat merupakan calon dai dan mujahid digembleng dengan gemblengan yang berat. Selama satu tahun mereka harus bangun di tiap tengah malam untuk berdiri shalat berjam-jam. Mereka dituntut untuk taat, tunduk, patuh dan berpegang teguh pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Kewajiban qiyamullail bukanlah sekadar berdiri sholat berjam-jam. Tetapi ia merupakan tarbiyah imaniyah. Tarbiyah untuk selalu berhubungan dengan Yang Maha Pencipta, untuk bermunajat ke pada-Nya. Ia merupakan wasilah untuk mendekatkan diri, berdzikir dan bertawakkal kepada-Nya. “Sebutlah nama Rabb-mu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketaatan, (Dialah) Rabb masyriq dan maghrib, tiada Illah melainkan Dia. Maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al Muzammil: 8-9)

Sungguh!! Berdzikir kepada Allah taat, tunduk dan patuh kepada-Nya, bertawakkal dan beribadah hanya kepada-Nya, merupakan senjata yang ampuh di medan dakwah yang penuh dengan rintangan dan cobaan. Semuanya akan menjadikan para calon du’at dan mujahid terbiasa untuk bersabar atas cobaan yang datang secara beruntun. Mereka akan terbiasa menanggung derita dan konsisten dalam mempertahankan haq. Ini semua merupakan satu satunya senjata pada marhalah bina’. Marhalah yang belum diizinkan untuk menghadapi kaum kafir secara langsung.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik:. (QS. Al Muzammil : 10).

Sungguh seorang da’i atau mujahid yang diatas pundaknya terbebankan panji-panji dakwah, pasti akan mendapati cobaan, siksaan dan intimidasi, dan tentu sangat membutuhkan senjata untuk mengukuhkan mereka. Senjata yang meneguhkan hati dan jiwa mereka. Mereka hanya akan mendapatkannya jika dalam marhalah bina’ mereka telah digembleng dengan gemblengan Al Muzammil. Dan harokah islamiyah jika tidak menggembleng generasinya dengan gemblengan Al Muzammil, mereka akan berjatuhan di tengah jalan ketika mereka dihadapkan pada cobaan dan intimidasi. Generasi Al Muzammil harus dibina dibawah konsep Qur’ani. Dan tidaklah cukup jikalau Al Qur’an hanya dijadikan sebagai pusat dan sumber intelektualitas belaka. Tetapi Al Qur’an harus dihafal. Khusus bagi mereka yang masih berumur muda

Perlu diingat makna qiyamul lail tidak akan pernah terealisir selama calon da’I atau mujahid tidak hafal ayat-ayat Al Qur’an kecuali beberapa ayat saja. Bagaimana ia akan merasakan nikmatnya bermunajat, sedangkan ia hanya hafal beberapa ayat dari Al Qur’an dan diulangnya tiap rokaat sholatnya? Bagaimana ia akan merasa khusyu’? Sungguh !! betapa nikmat, tatkala kaki berdiri tegak untuk memulai munajat, hati tergerak disinari ayat-ayat Ilahi, yang kemudian dibiaskan ke dalam penglihatan, pendengaran, jiwa dan kehidupan.

Untuk menghasilkan generasi Al Muzammil yang tangguh, harokah islamiyah harus mengonsep, pada umur 20 tahun seorang anggota harus sudah hafal sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an. Inilah yang akan menjadi bekal mereka. Dengan bekal ini, mereka akan bisa mereguk nikmatnya bermunajat, qiyamul lail dan bertaqorrub kepada-Nya.

Potret generasi Al Muzammil adalah seorang pemuda yang telah melewati pubertas nya dengan kecintaan pada ibadah, ketaatan , dan taqorrub kepada-Nyaa. Pemuda yang selalu bertilawah dengan tartil, yang setiap malam air mata mengucur deras dari pelupuk matanya. Mentadabburi ayat-ayat-Nya. Pemuda yang Al Qur’an terukir di hati dan pikirannya.