Kamis, 27 September 2007

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh Adnin Armas
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi.

Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. “Gelar” dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab.

Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis.

Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.

Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogianyalah institusi-institusi pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Dalam pandangan Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa. Oleh sebab itu, sebuah institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan memiliki kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi manusia yang serta bermanfaat bagi ummat dan mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Institusi pendidikan perlu mengarahkan anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang pintar dan sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan.

Oleh sebab itu juga, ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan seyogianya dibangun di atas Wahyu yang membimbing kehidupan manusia. Kurikulum yang ada perlu mencerminkan memiliki integritas ilmu dan amal, fikr dan zikr, akal dan hati. Pandangan hidup Islam perlu menjadi paradigma anak didik dalam memandang kehidupan.

Dalam Islam, Realitas dan Kebenaran bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran didasarkan kepada dunia yang nampak dan tidak nampak; mencakup dunia dan akhirat, yang aspek dunia harus dikaitkan dengan aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam).

Jadi, institusi pendidikan Islam perlu mengisoliir pandangan hidup sekular-liberal yang tersurat dan tersirat dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan modern saat ini, dan sekaligus memasukkan unsur-unsur Islam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Dengan perubahan-perubahan kurikulum, lingkungan belajar yang agamis, kemantapan visi, misi dan tujuan pendidikan dalam Islam, maka institusi-institusi pendidikan Islam akan membebaskan manusia dari kehidupan sekular menuju kehidupan yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Institusi–institusi pendidikan sepatutnya melahirkan individu-individu yang baik, memiliki budi pekerti, nilai-nilai luhur dan mulia, yang dengan ikhlas menyadari tanggung-jawabnya terhadap Tuhannya, serta memahami dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada dirinya dan yang lain dalam masyarakatnya, dan berupaya terus-menerus untuk mengembangkan setiap aspek dari dirinya menuju kemajuan sebagai manusia yang beradab. [www.insistnet.com]

Fenomena Iran dan Hizbullah (Bag.3)

Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi dari San’a yang hidup semasa dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib r. A. Sejarah mencatat bahwa Yahudi dari San’a inilah yang “memecah” umat Islam menjadi dua kelompok besar: Sunni dan Syiah. Sebelum kemunculan Abdullah bin Saba, tidak ada istilah Sunni (Ahlul Sunnah Wal Jamaah) dan Syiah. Islam ya Islam. Tidak ada Islam Sunni atau Islam Ahlul Sunnah Wal Jamaah dan lainnya.

Keberadaan Abdullah bin Saba yang Yahudi ini seakan melengkapi bukti bahwa Yahudi memang sungguh-sungguh berjuang untuk menghancurkan apa yang kita kenal sebagai agama langit: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ke dalam agama asli Yahudi (Taurat Musa a. S.), kaum Yahudi pengikut Samiri (tokoh Kabbalah) menciptakan Talmud, sebuah kitab iblis yang diikuti oleh Gerakan Zionis Dunia sekarang ini.

Ke dalam agama Nasrani (Nabi Isa a. S.), mereka menyusupkan Paulus dari Tarsus, seorang Yahudi dari Tarsus yang hidup berbeda zaman dengan Nabi Isa a. S. namun mengaku sebagai muridnya. Paulus ini yang kemudian mengarang Kitab Perjanjian Baru (The New Testament) yang diklaimnya sebagai penggenapan Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament). Dan ke dalam umat Muslimin, Yahudi menyusupkan Abdullah bin Saba untuk merusak Islam.

Keberadaan Abdullah bin Saba sendiri menjadi kontroversial di kalangan Syiah. Ada penganut Syiah yang mengakui bahwa Abdullah bin Saba benar-benar ada, namun banyak pula yang menyebut Abdullah bin Saba hanyalah sebuah mitos dan kebohongan yang besar, sebuah rekaan dari musuh-musuh Syiah.

Namun dari catatan sejarah yang ada, keberadaan Abdullah bin Saba agaknya jauh lebih kuat fakta-faktanya ketimbang yang menolak keberadaannya. Sejumlah literatur klasik memaparkan siapa sesungguhnya orang Yahudi ini:

- An Nasyi Al-Akbar (293 H), mencantumkan tentang Ibnu Saba, dan golongan As Sabaiyah, dengan kalimat: “Dan suatu golongan yang mereka mendakwahkan bahwa Ali allaihi salam masih hidup dan tidak pernah mati, dan ia tidak akan mati sampai ia menghalau (mengumpulkan) orang arab dengan tongkatnya, orang ini adalah As Sabaiyah, pengikut Abdullah bin Saba …. Abdullah bin Saba seorang laki-laki dari penduduk Sana, seorang Yahudi yang mengaku telah masuk Islam lewat tangan Ali dan bermukim di Al-Madain. (Masailul Imaamah Wa Muqtathofaat minil kitabil Ausath fil Maqalat/ditahqiq oleh Yusuf Faan As, Beirut 1971, hal. 22, 23).

- Al-Qummi (301 H), menyebutkan: Sesungguhnya Abdullah bin Saba adalah orang yang pertama sekali menampakkan celaan atas Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, serta para sahabat, dan berlepas diri dari mereka. Dan ia mendakwakan sesungguhnya Ali-lah yang memerintahkannya akan hal itu. Dan sesungguhnya Taqiyah tidak boleh. Lalu Ali diberitahukan, lantas Ali pun menanyakannya akan hal itu. Maka ia mengakuinya. Dan Ali memerintahkan untuk membunuhnya. Llalu orang-orang berteriak dari setiap penjuru: Wahai Amirul Mukminin! Apakah anda akan membunuh seorang yang mengajak kepada mencintai kalian Ahli Bait, dan mengajak berikrar setia kepadamu dan berlepas diri dari musuh-musuhmu, maka biarkan dia pergi ke Al-Madain. (Al-Maqaalat wal Firaq, hal: 20. Diedit dan dikomenteri serta kata pengantar oleh Dr. Muhammad Jawad Masykur, diterbitkan oleh Muasasah Mathbuati athani, Teheran 1963).

- An Naubakhti (310H), menyetujui Al-Qummi dalam memperkuat berita-berita tentang Abdullah bin Saba, lalu ia menyebutkan satu contoh: Tatkala sampai kepada Abdullah bin Saba berita kematian Ali di Madain, maka ia berkata kepada orang yang membawa berita itu: Kamu telah berdusta kalau seandainya kamu datang kepada kami dengan otaknya sebanyak tujuh puluh kantong, dan kamu mendatangkan tujuhpuluh saksi atas kematiannya, maka sungguh kami telah mengetahui sesungguhnya dia belum mati, dan tidak terbunuh, dan tidak akan mati sampai ia memiliki bumi.(Firaqus Syiah, hal 23. Oleh Abu Muhammad Al-Hasan bin Musa An Naubakhti, ditashhih oleh H. Raiter, Istambul, percetakan Ad Daulah, 1931).

- Al-Kisysyi mencantumkan (dari para tokoh abad ke empat) beberapa riwayat yang menegaskan hakikat Ibnu Saba, dan menerangkan kabar beritanya. Inilah sebagiannya: Telah menceritakan kepada saya Muhammad bin Quluwiyah Al-Qummi, ia berkata: telah menceritakan kepada saya Saad bin Abdillah bin Abi khalaf Al-Qummi, ia berkata: telah menceritakan kepada saya Muhammad bin Utsman Al-Abdi dari Yunus dengannya, Abdurrahman bin abdillah bin Sinan telah berkata: telah menceritakan kepada saya Abu Jafar Alaihis Salam: Sesungguhnya Abdullah bin Saba, adalah orang yang mendakwakah kenabian, dan mendakwakan bahwa sesungguhnya Amirul Mukminin alaihi salam (Ali r. A.), sebagai Allah, Maha tinggi dari hal itu dengan ketinggian yang besar. Lalu berita itu sampai ke Amiril mukminin alaihis salam, beliau menanyakannya, maka iapun mengakui hal itu, dan berkata: Ya, engkau adalah Dia (Allah), dan sungguh telah dibisikkan ke dalam hatiku, bahwasanya engkau adalah Allah, dan saya adalah nabi. Lalu Amirul Mukminin berkata kepadanya: Celaka kamu, sungguh syaitan telah menguasaimu, kembalilah kamu (kepada kebenaran) dari ini, celaka ibumu, dan bertaubatlah. Maka iapun enggan (untuk bertaubat), lalu beliau menahannya, dan memintanya agar bertaubat selama tiga hari, namun belum juga bertaubat, lantas beliau membakarnya dengan api, dan berkata: syaitan telah menguasainya, selalu mendatanginya dan membisikkan ke dalam hatinya hal itu.(Al-Kisysyi: Rajalul Kasysyi hal: 98, 99, marifatu Akhbaarir Rijaal (al-mathbaah al-musthafawiyah 1317) hal: 70).

- Al-Hasan bin Ali Al-Hulliy (726 H), menyebutkan Abdullah bin Saba dari golongan-golongan orang yang lemah (tercela).(Ar Rijaal (cetakan AL Haidariyah/ An Najfah 1392 H): 2/71).

- Adapun Ibnu Murtadha (Ahmad bin Yahya meninggal tahun 840 H) yang ia itu adalah orang mutazilah dan menisbatkan dirinya ke Ahli Bait, dan termasuk imam (tokoh) syiah Zaidiyah, maka dia tidak hanya memperkuat keberadaan Ibnu Saba, bahkan menegaskan bahwa sumber ajaran syiah dinisbatkan kepada Abdullah bin Saba, karena ia adalah orang yang pertama kali membuat perkataan adanya nash (ketetapan keimaman), dan perkataan keimaman dua belas imam.(Tabaqatul Mutizilah (diterbitkan oleh Faranz syatainr/ cetakan Al-Katolikiyah/ Bairut hal: 5 dan 6) dan lihat juga Dirasaat fil firaq wa aqaidil Islamiyah (diterbitkan oleh Penerbit Irsayd Baghdad) hal: 5).

Ada banyak literatur klasik yang berasal dari kalangan mereka sendiri yang meneguhkan keberadaan dan peranan seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba (Ibnu Saba) dalam memecah kaum Muslimin. Hal ini dipaparkan semata-mata agar umat Islam menyadari dan bisa menilai dengan obyektif apa sesungguhnya yang mereka tampakkan sekarang ini. Dalam tulisan keempat (terakhir) akan dipaparkan penggalan sejarah yang menyebabkan Dunia Islam mengalami skisma besar menjadi dua bagian: Sunni dan Syiah, di mana peran Abdullah bin Saba sangat dominan.(Bersambung/Rizki)[www.eramuslim.com]

Fenomena Iran dan Hizbullah (Bag.2)

Dalam tulisan kedua ini, kita akan mencoba untuk melihat siapa sebenarnya Khomeini. Tokoh yang sangat dipuja oleh rakyat Syiah Imamiyah Iran dan juga Hizbullah dengan Syed Hassan Nasrallahnya ini memiliki banyak kontradiksi di dalam perjalanan hidup dan tindak-tanduknya.

Di sini bukan pada tempatnya kita menuturkan riwayat perjalanan tokoh yang satu ini secara detil, juga paham Syiahnya. Begitu banyak literatur yang memuat hal itu. Ada yang menyanjungnya setara Rasulullah SAW, tapi ada pula yang mencacinya, sebagaimana kelaziman warga Syiah mencaci-maki para Shahabat Rasulullah seperti Abu Bakar r. A., Umar bin Khattab r. A., dan Ustman bin Affan r. A.

Di sini kita hanya melihat sisi-sisi seorang Khomeini dari sejumlah pandangan, sikapnya, dan juga tulisan-tulisannya. Inilah di antaranya:

Menindas Ayatollah Hasan Thabathab

Khomeini merupakan tokoh pencetus teori “walayatul faqih” di mana banyak orang beranggapan teori ini berasal dari Syiah Imamiyah, suatu aliran Syiah yang dipegang mayoritas rakyat Iran. Namun sesungguhnya teori ini tidak sama dengan aliran Syiah Imamiyah. Karena menentang teori ini, maka Ayatollah Hasan Thabathab yang tinggal di Qum diperangi oleh Khomeini, seperti dilarang menggunakan pesawat telepon, dilarang menemui sahabatnya, saluran air dan listrik ke rumahnya di putus, juga tidak boleh menjalani pengobatan di rumah sakit jika dia menderita sakit.

Hasan Thabathab menentang teori “Khomeinism” ini yang dianggapnya dapat menjadikan Khomeini seorang diktatur, sebagai wali Allah. Saya tidak dapat menerima hal itu. Itu merupakan penunggangan aliran Syiah dan kediktatoran tidak ada dalam agama ini. ”

“Saya berpesan kepada semua ulama dan para cendekiawan bahwa segala apa yang terjadi di Iran dengan ‘Revolusi Islam’nya sebenarnya tidak ada kaitannya dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dan malah banyak bertentangan dengan nash-nash Qur’an yang sampai pada kita. Apa yang diperbuat Khomeini dengan pejabat-pejabatnya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Islam, ” tandas Ayatollah Hasan Thabathab (Naqdu Walayatil Faqih-Muhammad Maalullah, hal 27 & 28, 30 & 31)

Dikecam Dr. Musa Al-Musavi

Teori ‘Khomeinisme” atau “Walayatul faqih” juga mendapat kecaman dari Dr. Musa Al-Musavi, seorang cendekiawan Syiah Iran. Musavi berpendapat, “Walayatul faqih adalah satu bid’ah yang meyakini bahwa penguasa-penguasa merupakan wakil-wakil Imam Mahdi di zaman Ghaibah Kubra (Keghaiban Besar). Ide ini sesungguhnya berasal dari pemikiran huluhiyyah (inkarnasi) yang terdapat dalam dogma Kristiani yang meyakini bahwa Allah telah menjelma di dalam diri Al-Masih dan Al-Masih pula telah menjelma di dalam Paus. ”

Dr. Musavi juga mengatakan, “Konsep walayatul faqih bertentangan dengan nash al-Quran dan barangsiapa secara sengaja dan jelas menentang nash Allah, maka dia telah keluar dari Islam. ” (hal 73)

Membunuh Gurunya sendiri

Sementara Ayatollah Syariat Madari, guru Khomeini yang telah menganugerahkan istilah “Ayatollah” kepada Khomeini, di mana beliau juga seorang tokoh ulama Syiah yang ternama, ternyata juga menentang konsep yang diusung Khomeini. Akibatnya, setelah berkuasa, Khomeini mengirimkan 10. 000 tentaranya (!) untuk menyerang dan membunuh gurunya ini. Ayatollah Syariat Madari sependapat dengan ulama Syiah Iran lainnya yang membatasi kekuasaan faqih dalam bidang-bidang tertentu saja dan sama sekali tidak bisa mengklaim sebagai wakil dari Ratu Adil atau Imam Mahdi. (Dr. Musa Al-Musavi-At Tsauratuu Al-Baaisah, hal. 51),

Walayatul faqih secara ringkas berarti bahwa seorang penguasa yang faqih bertindak sebagai wakil dari Imam Mahdi dalam memerintah rakyatnya yang sudah putus asa karena Imam Mahdi yang sejati tidak dating-datang juga. Jadi menurut konsep yang juga dikenal sebagai ‘Khomeinisme’ ini, seorang penguasa merupakan seorang ‘pejabat pelaksana’ Imam Mahdi (Khomeini, Al-Hukumah Al-Islamiyah, hal 74).
Konsep inilah yang ditentang banyak ulama Syiah Iran sendiri. Menurut Syiah, setiap negara yang ditegakkan sebelum kemunculan Imam Mahdi adalah tidak sah walau pemimpinnya berada di atas jalan yang benar. Al-Kulaini meriwayatkan dari Abi Bashir dari Abi Abdillah (Jaafar Shadiq) bahawa beliau berkata, “Setiap orang yang menjulang bendera sebelum Qaaim (Al-Mahdi) adalah taghut yang disembah selain dari Allah SWT. ” (Ar Raudhah Min Al-Kafi, hal 295). Jadi, menurut ulama Syiah ini, Khomeini adalah thagut.

Ini dkuatkan oleh pensyarah kitab Al-Kafi, Maula Muhammad Soleh Al-Maazan Daraani (wafat 1080 H) di dalam syarahnya terhadap kitab Al-Kafi yang dianggap sebagai syarah Al-Kafi yang muktamad menyebutkan bahawa, “walaupun orang yang memimpinnya itu menyeru kepada kebenaran” (Syarah Al-Kafi, jilid 2, hal 371)

Khomeinisme

Ajaran dan`trend’ yang dibawa Khomeini merupakan satu pecahan baru dari aliran Syiah Imamiyyah Itsna Asyariyyah. Sebab itu dinamakan “Khomeinism”. Namun walau demikian, secara keseluruhan, Khomeini tetap berpegang teguh dengan aqidah dan ajaran Syiah yang diterima di kalangan Syiah Imamiyyah Itsna Asyariyyah secara turun temurun. Tidak ada perbedaan aqidah dan ajaran Syiah antara Khomeini dengan yang lainnya. Hanya saja, Khomeini telah membawa konsep taqqiyah (berbohong demi kepentingannya) dengan seluas-luasnya sampai ke peringkat negara dan politik internasional.

Selain taqiyyah, Syiah Imamiyah juga meyakini secara akidah bahwa para Imam Dua Belas itu manusia yang maksum (terpelihara dari dosa besar dan kecil), sederajat dengan Rasulullah SAW. Khomeini berkata, ” Kita tidak dapat menggambarkan para Imam itu lupa dan lalai. ” (Al-hukumah Al-Islamiyyah, hal 91)

Syiah juga percaya bahwa al-Quran yang ada sekarang ini telah diselewengkan oleh para Shahabat Nabi selain Imam Ali r. A.). Ni`matullah Al-Jazaairi di dalam kitabnya Al-Anwar An Nu`maniyyah mengatakan “Sesungguhnya Al-Quran sebagaimana telah diturunkan tidaklah ditulis kecuali oleh Amirul Mukminin (Alia. A. S.) dengan wasiat daripada Nabi s. A. W. Maka selepas kewafatan Rasulullah s. A. W. Sayyidina Ali sibuk mengumpulkannya selama enam bulan. Setelah dia mengumpulkannya seperti ia diturunkan (kepada Rasulullah s. A. W.) dia lalu membawa Al-Quran itu kepada orang-orang yang telah berlaku curang setelah kewafatan Rasulullah s. A. W. (maksudnya Abu Bakar r. A., Umar r. A., dan Ustman r. A. (Al-Anwar An Nu’maniyyah jilid 2, hal 360).

Dalam bukunya “Kasyful Asrar” (hal 114) Khomeini secara implisit mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang telah diselewengkan karena tidak memuat nama para Imam Dua Belas. “Abu Bakar dan Umar telah banyak menyalahi hukum-hukum Allah. Mereka berdua telah banyak mempermainkan hukum-hukum Tuhan. Mereka telah menghalalkan dan mengharamkan dari pihak diri-sendiri. Mereka berdua telah melakukan kezaliman terhadap Fatimah dan anak cucunya” (Kasyful Asrar, hal 110).

Khomeini juga merupakan salah satu dari enam ulama Syiah yang telah mensahkan dan merestui kitab “Tuhfatul Awam” yang mengandungi doa supaya Allah melaknat Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, dan pengikut-pengikutnya. Doa itu antara lain berbunyi: “Ya Allah! Laknatilah dua berhala quraisy, dua jiblnya, dua taghutnya, dua orang yang malang dari kalangan mereka, dan dua orang anak perempuan mereka. Mereka berdua telah melanggar perintahMu, mengingkari wahyuMu, menolak kurniaanMu, dan durhaka kepada RasulMu. Mereka berdua telah mengubah agamaMU dan menyelewengkan KitabMu, mereka berdua telah menyintai musuh-musuhMu, menolak nikmat-nikmatMu dan telah menghentikan hukum-hukumMu ……. ”dan seterusnya. Dua orang itu adalah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Tentang Mut’ah, nikah sementara, Khomeini menulis bahwa Mut’ah boleh dilakukan dengan perempuan Yahudi, Nasrani, Majusi, juga dengan para pelacur (Khomeini, Tahrirul Wasilah, jilid 2 hal. 292).

Inilah sebagian pemaparan tentang Khomeini dan Syiahnya. Adalah ironis, Imam Jaafar As Shiddiq sendiri yang dianggap oleh golongan Syiah sebagai Imam Maksum mereka yang keenam pernah berkata, dan dikutip kata-katanya itu tokoh ulama Syiah, Syeikh At Thusi di dalam kitabnya “Ikhtiar Ma’rifati Ar Rijal” (sebuah kitab Syiah) yang menyatakan, ” Tidak ada satu pun ayat yang diturunkan oleh Allah tentang golongan munafiqin melainkan kandungan ayat itu pasti ada pada orang yang menganut faham Syiah. ” (Ikhtiar Ma’rifati Ar Rijal, hal. 1).

Dalam tulisan ketiga kita akan mengulas tentang Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang berada di balik kelahiran paham Syiah ini.(bersambung/rz)[www.eramuslim.com]

Fenomena Iran dan Hizbullah (Bag.1)

Diakui atau tidak, dalam bingkai politik internasional dewasa ini, Iran dengan Presiden Mahmud Ahmadinejad dan Hizbullah dengan Syekh Hassan Nasrallah-nya, telah menjadi ikon masyarakat dunia yang menggugat imperialisme dan hegemoni Amerika-Israel.

Keduanya—Iran dengan Ahmadinejad dan Hizbullah dengan Hasan Nasrallah—telah menjadi idola baru bagi jutaan Muslim dunia, tidak saja mereka yang menganut Syiah, tetapi juga kaum Muslim Sunni. Bahkan orang-orang non-Muslim pun banyak yang menyamakan keduanya dengan tokoh-tokoh revolusioner semacam Che Guevara.

Dunia terhenyak ketika Ahmadinejad dengan lantang menyerukan agar Israel dihapus keberadaannya dari peta dunia. Sikap politiknya yang sangat keras terhadap AS dan Zionis-Israel juga membuat namanya melambung hingga menjadi presiden yang disegani kawan dan lawan.

Terhadap Hizbullah dan Hassan Nasrallah, dunia pun dibuat terhenyak dan terkagum-kagum ketika berhasil menang perang selama sebulan di tahun 2006 melawan tentara Zionis-Israel. Sebuah kemenangan yang sangat memalukan negeri Zionis tersebut. Bukan rahasia lagi jika Hizbullah dan Iran memiliki kaitan yang sangat erat, sehingga keduanya mampu menaikkan ‘pamor’ Syiah ke pentas dunia internasional.

Di sisi lain, disadari atau tidak, fenomena ini menenggelamkan peran kalangan Sunni yang terbagi ke dalam dua kelompok besar: Kalangan Sunni yang berkuasa, para presiden, raja, dan pemimpin-pemimpin Arab, berhadap-hadapan secara diametral dengan tokoh-tokoh pejuang Sunni seperti HAMAS dan sebagainya.

Celakanya, para pemimpin Arab yang kebanyakan Sunni ini malah rela menjadi antek-antek Zionis-Israel dan juga Zionis-Amerika. Ke-bahlul-an mereka ini disorot habis-habisan oleh media internasional, sehingga kalangan Sunni semakin terpuruk pamornya dibandingkan yang lain. Bahkan dengan kekuatan media yang demikian menggurita, kubu Zionis Internasional dengan mudahnya menempelkan stigma ‘teroris’ kepada pejuang-pejuang Sunni seperti HAMAS dan lainnya.


Dengan sendirinya, banyak umat Islam dunia menjadikan Iran dan Hizbullah menjadi ikon perjuangan mereka dalam menentang eksistensi Zionis Internasional. Iran dan Hizbullah menjadi besar karena sikap politik yang ditampakkannya dewasa ini sungguh-sungguh telah merebut hati jutaan umat Islam sedunia. Ini merupakan kenyataan yang harus diakui.

Tanpa mengenyampingkan peran besar yang telah dimainkan Iran dan Hizbullah, sebagai umat Islam kita hendaknya bisa menyikapi fenomena ini dengan arif dan bijak. Hitam katakan hitam, putih katakan putih, walau pahit mungkin terasa di bibir.

Iran dan Hizbullah memang telah menjadi lokomotif perjuangan “Dunia Islam” melawan kesewenang-wenangan AS dan Zionis-Israel. Iran dan Hizbullah memang telah banyak memberi pelajaran bagaimana seharusnya umat Islam dunia harus bersikap terhadap kezaliman. Iran dan Hizbullah memang telah banyak memberikan contoh bagaimana seharusnya umat Islam dunia mampu menjaga izzah, harga diria, agama dan bangsanya. Kita patut mengacungkan jempol kepada mereka.

Namun kita juga harus jujur. Iran dan Hizbullah memiliki ideologi yang berbeda dengan Islam kebanyakan. Bahkan secara akidah, keduanya sebenarnya tidak bisa dianggap bagian dari kaum Muslimin. Latar belakang keduanya dan pergaulannya dengan umat Islam lainnya juga tidak boleh dilupakan. Ini yang membuat kita harus arif dan obyektif dalam menilai keduanya.

Dalam tulisan berseri ini akan dipaparkan hitam putihnya perjalanan sejarah keduanya, Iran dan Hizbullah, agar umat Islam bisa menilai dengan hati yang bersih, dengan akidah yang lurus, dengan pemahaman yang benar, tentang keduanya. Mudah-mudahan, dengan pemaparan ini kita bisa menilai apa adanya.

Salah satu yang paling mendasar adalah sebuah pertanyaan sederhana: Apakah Iran dan Hizbullah melawan Zionis-Israel dan AS diniatkan semata-mata untuk kejayaan Islam dan kejayaan umat-Nya? Wallahu’alam. Dalam Islam, segala sesuatu itu, berpahala atau tidak, dilihat dari niatnya.

Dalam tulisan kedua, kita akan melihat siapa sebenarnya Ayatollah Khomeini, seorang lelaki yang menjadi idola bagi Presiden Mahmud Ahmadinejad, rakyat Iran, dan juga idola bagi pemimpin Hizbullah Syekh Hassan Nasrallah.(bersambung/ Rizki Ridyasmara)
[www.eramuslim.com]

Meski Dikecam, Ahmadinejad Tetap Bicara Keras

Meski kehadirannya menjadi pembicara utama dalam forum di Kampus Columbia, Kota New York banyak ditentang, Presiden Mahmoud Ahmadinejad tetap keras

Hidayatullah.com--Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mendapat serangan bertubi-tubi dari audiens ketika berpidato pada forum di Columbia University New York Selasa kemarin. Namun, Ahmadinejad rupanya tidak terpengaruh dan bahkan sempat melontarkan sindiran yang membuat tertegun para hadirin. Berbicara dalam bahasa Farsi, Ahmadinejad menyindir, ''Saya kira para politikus yang memburu bom atom, menguji coba, membuat bom, sejatinya adalah idiot secara politik.''

Sekitar 700 hadirin kebingungan bereaksi. Sebagian memuji sindiran yang bermuatan semangat damai itu, sebagian lagi agak risih dengan pilihan kata idiot. Sebagian audiens yakin penerjemah mungkin kurang tepat menangkap nuansa sindiran.

Namun, secara keseluruhan suasana forum tanya jawab itu penuh dengan nuansa anti-Ahmadinejad. Dia tampil di universitas itu sehari menjelang berpidato di Majelis Umum PBB. Kehadirannya menyulut kontroversi sengit, khususnya karena sikap blak-blakannya soal Israel.

Pandangannya tentang Holocaust disoraki dan ditentang keras. Dia menerima kecaman itu dengan tenang, namun mengeluhkan ''perlakukan tak bersahabat'' dari civitas akademika.

Pada kesempatan itu, dia menegaskan bahwa Republik Islam Iran berhak melanjutkan program nuklir sipilnya. Dia membantah Teheran tengah mengupayakan senjata nuklir.

Namun sebelum selesai bicara, dipaksa duduk sekitar 10 menit oleh rektor universitas itu, Lee Bollinger. Bollinger telah dikecam kelompok-kelompok Yahudi dan politikus AS karena mengundang pemimpin Iran itu.

Namun, Bollinger pun melontarkan kata-kata pedas saat memberikan sambutan. ''Pak presiden, Anda tak ubahnya diktator yang picik dan keji,'' kata Bollinger. Dia menuduh presiden Iran itu menindak kejam para akademisi dan kaum homoseksual, serta membungkam pembangkang.

Soal Homoseks

Pada gilirannya, Ahmadinejad yang mengenakan setelan abu-abu dan kemeja putih tidak menjawab langsung kecaman Bollinger. Dia hanya mengatakan, sambutan sang rektor sungguh-sungguh tidak sopan untuk seorang tamu.

Ahmadinejad tersenyum dan kadang tertawa saat berbicara tentang budaya Iran dan pandangan dunia. Namun dia diolok-olok mahasiswa saat menyatakan praktik homoseksual tidak ada di republik Islam itu.

''Di Iran kami tidak menemui kaum homo seperti di negara Anda,'' katanya lantang. ''Di Iran tidak ada fenomena ini, saya tidak tahu siapa yang mengatakan kepada Anda tentang hal ini.''

Saat ditanya tentang komentarnya di masa lalu soal pembunuhan massal kaum Yahudi selama Perang Dunia II, dia mengatakan, ''Saya tidak mengatakan hal itu tak pernah terjadi. Saya hanya katakan insiden itu 'jangan dibesar-besarkan'.'' Sebelumnya Ahmadinejad menyatakan bersedia bertemu korban selamat Holocaust. Dia pernah menyerukan penghancuran Israel dan mempertanyakan jumlah korban Holocaust.

Dalam kesempatan itu, dia juga mengabaikan perbincangan bahwa Amerika Serikat dan Iran di ambang perang. Dia menjelaskan bahwa Iran sedang bekerja sama dengan tim inspeksi nuklir PBB.

''Kami kira perbincangan itu hanyalah alat propaganda. Mengapa harus perang? Tanyanya.
[afp/sm/www.hidayatullah.com]

Pendidikan Tauhid

Kajian Surah Al-Alaq 1-5 (Sebuah Tawaran)

Tauhid merupakan inti dan fondamen dari ajaran Islam. Konsepsi monotheisme yang bersumber pada ajaran (millah) Nabi Ibrahim yang mengalami banyak distorsi dan reduksi dari ajaran Kristen dan Yahudi, membuat kehadiran Islam sebagai agama terakhir menempati posisi yang sangat sentral untuk memurnikan konsep monotheisme.

Pendidikan tauhid sudah terkandung secara jelas pada ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi pada malam 17 Ramadhan 610 M. Peristiwa tersebut meninggalkan seribu satu misteri buat kita, diantaranya muncul pertanyaan kenapa harus surah Al-Alaq 1-5 yang harus diturunkan pertama kali? Kenapa bukan surah al-Fatihah atau surah-surah lainnya. Tentu banyak spekulasi mengenai hal tersebut, dan diantaranya sebagaimana ditawarkan dalam tulisan ringkas berikut.
Nabi SAW. pernah bersabda yang berbunyi: “Addabani Rabbi Fa Ahsana Ta’dibi”, yang artinya kurang lebih: “Tuhan telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan”. Kita semua tahu bahwa Nabi adalah seorang yang ummi dalam arti tidak mampu baca-tulis secara material. Akan tetapi Allah mendidik Rasul dalam universitas kehidupan, yang sangat sedikit orang dapat lulus dari universitas ini. Allah bahkan sudah mendidik Rasul sejak dilahirkan, di mana beliau sudah menjadi yatim, yang beberapa tahun kemudian disusul oleh kemangkatan ibunya. Ini adalah semester pertama pendidikan Allah kepada Nabi, yaitu untuk menumbuhkan kemandirian eksistensial transenden dengan proses peyatiman. Pada semester kedua, Allah melatih kemampuan manajerial, organisasi dan kepemimpinan Nabi pada proses menggembalakan ternak pamannya Abu Thalib. Menginjak semester ketiga, Allah mendidik semangat interpreneurship pada Rasul melalui proses memperdagangkan barang dagangan Siti Khadijah. Pada semester keempat, Allah melatih kepekaan emosional, sikap bertanggung jawab, dan latihan kepemimpinan pertama, melalui proses pernikahannya dengan Siti Khadijah yang nota bene adalah seorang janda berusia 40 tahun. Pada semester kelima atau semester terakhir, dalam diri Rasul muncul ketidakpuasan dan sikap kritis terhadap fenomena kejahiliahan yang terjadi di kota Makkah ketika itu. Sehingga muncul kegelisahan intelektual dalam diri Rasul, yang mengantarkan beliau pada proses kontemplatif di gua Hira. Proses perenungan itu memakan waktu berbulan-bulan, dan Rasul mengerahkan segenap daya fikir dan spiritualnya untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di gua Hira ini adalah upaya keras yang melebihi upaya keras para sarjana untuk mengerjakan skripsi, tesis, atau disertasi sekalipun!. Upaya Rasul ini membuahkan hasil, dan beliau lulus magna cum laude dari pendidikan Allah dengan anugerah gelar kenabian dan kerasulan, dengan ijazah Al-Qur’an, yang pertama kali diwakili oleh surah Al-Alaq 1-5.
Menurut penulis, sangat beralasan kalau Allah menurunkan surah Al-Alaq 1-5 sebagai wahyu pertama, karena kelima ayat ini sangat sarat akan nilai-nilai fundamental dan filosofis, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Kelima ayat tersebut menyentuh tiga aspek utama dari kehidupan, yaitu Tuhan, manusia dan alam, di mana ketika aspek ini juga menjadi jiwa zaman dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia. Yaitu, pada era Yunani kuno pola berfikir manusia yang polytheistik dan kosmosentris (berpusat pada alam). Pada abad pertengahan, khususnya setelah perkembangan ajaran Yahudi dan Kristen, pola berfikir manusia sangat theosentris (berpusat pada Tuhan). Kedatangan Islam semakin membuat pola berfikir theosentris mengalami masa puncaknya, yang dari Islam diwakili oleh Imam al-Ghazali (Ihya Ulumuddin), dan diikuti oleh teolog Kristen, yaitu Thomas Aquinas (Summa Theologia). Sejak era renaisans, subyek berfikir manusia terpusat pada manusia (anthroposentris), dan hal tersebut masih terus berlangsung hingga kini di Barat. Sedangkan surah Al-Alaq 1-5, konsep yang mengejawantah adalah konsep Ma’rifatul-Rabb, Ma’rifatul-Insan dan Ma’rifatul-Alam. Ketiga konsep inilah inti pendidikan tauhid surah Al-Alaq 1-5.
Pada ayat 1-3, “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Mulia”. Secara ontologis ayat-ayat ini akan membantah argumen terkenal Rene Descartes “cogito ergo sum” (berfikir maka aku ada), atau barangkali menjadi solusi konflik berkepanjangan antara kubu rasionalis dan empirisis. Karena konsep “bacalah” (iqra) tidak hanya menjadi landasan proyeksi pengetahuan dalam Islam. Akan tetapi juga menjadi proyeksi filosofis, di mana dalam proses “membaca” tersebut, instrumen rasional dan indriawi (empirik) bekerja secara integral. Dan memang dalam doktrin Islam tidak ada dikotomi antara yang rasional dan yang empirik. Term rasional, empirik dan intuitif biasa disentuh oleh al-Qur’an dengan term “sam’a wal abshara wal af’idah” atau dalam term-term lainnya, yang sedari awal tidak ada dikotomi konseptual di dalamnya. Sedangkan pada ayat 4-5, “Yang mengajar manusia dengan pena (kalam), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”, terdapat isyarat epistemologis pada ayat ke empat, yaitu pada term “kalam” yang bermakna sumber pengetahuan universal absolut. Penjelasan mengenai “kalam” kembali di pertegas oleh Allah pada surah kedua yang turun, yaitu surah Al-Qalam, di mana Allah membantah tuduhan orang-orang kafir Quraisy, bahwa Nabi adalah seorang yang gila, karena Nabi sudah mengetahui epistemologi wahyu Allah. Pada ayat kelima terdapat isyarat aksiologis, bahwa kebenaran wahyu Allah harus diajarkan dan disebarkan, karena kedatangan Islam sebagai rahmat Allah bagi seluruh seru sekalian alam (Rahmatan lil Alamin).
Dalam sirah nabawiyah diceritakan bahwa setelah wahyu pertama turun, terdapat masa yang relatif lama, hingga turun wahyu yang kedua. Bahkan sampai-sampai Rasul hampir menjatuhkan dirinya ke dalam jurang, karena keputusasaannya. Ini adalah pertanda bahwa lima ayat pertama tersebut menjadi landasan penting dari tauhid, dan butuh eksplorasi pemikiran secara mendalam, sehingga lahir kesadaran eksistensial sebagai hamba Tuhan, dan kesadaran tersebut diproklamasikan dengan dua kalimat syahadat. Barangkali tema-tema substansial yang terkandung dalam lima ayat tersebut yang menjadi landasan konseptual pengakaderan Rasul terhadap para “Assabiqunal Awwalun” di rumah al-Arqam bin Arqam. Sehingga membuat sahabat-sahabat utama seperti Bilal Bin Rabbah, Ammar Bin Yasir, Mush’ab Bin Umair dan lain-lain, memiliki keteguhan tauhid yang luar biasa, walaupun disiksa secara kejam.

*Oleh : Abdurrohim Mahasiswa S2 Jurusan pemikiran pendidikan Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

[www.stishidayatullah.ac.id]

Kajian Surah Al-Alaq 1-5 (Sebuah Tawaran)

Tauhid merupakan inti dan fondamen dari ajaran Islam. Konsepsi monotheisme yang bersumber pada ajaran (millah) Nabi Ibrahim yang mengalami banyak distorsi dan reduksi dari ajaran Kristen dan Yahudi, membuat kehadiran Islam sebagai agama terakhir menempati posisi yang sangat sentral untuk memurnikan konsep monotheisme.

Pendidikan tauhid sudah terkandung secara jelas pada ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi pada malam 17 Ramadhan 610 M. Peristiwa tersebut meninggalkan seribu satu misteri buat kita, diantaranya muncul pertanyaan kenapa harus surah Al-Alaq 1-5 yang harus diturunkan pertama kali? Kenapa bukan surah al-Fatihah atau surah-surah lainnya. Tentu banyak spekulasi mengenai hal tersebut, dan diantaranya sebagaimana ditawarkan dalam tulisan ringkas berikut.
Nabi SAW. pernah bersabda yang berbunyi: “Addabani Rabbi Fa Ahsana Ta’dibi”, yang artinya kurang lebih: “Tuhan telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan”. Kita semua tahu bahwa Nabi adalah seorang yang ummi dalam arti tidak mampu baca-tulis secara material. Akan tetapi Allah mendidik Rasul dalam universitas kehidupan, yang sangat sedikit orang dapat lulus dari universitas ini. Allah bahkan sudah mendidik Rasul sejak dilahirkan, di mana beliau sudah menjadi yatim, yang beberapa tahun kemudian disusul oleh kemangkatan ibunya. Ini adalah semester pertama pendidikan Allah kepada Nabi, yaitu untuk menumbuhkan kemandirian eksistensial transenden dengan proses peyatiman. Pada semester kedua, Allah melatih kemampuan manajerial, organisasi dan kepemimpinan Nabi pada proses menggembalakan ternak pamannya Abu Thalib. Menginjak semester ketiga, Allah mendidik semangat interpreneurship pada Rasul melalui proses memperdagangkan barang dagangan Siti Khadijah. Pada semester keempat, Allah melatih kepekaan emosional, sikap bertanggung jawab, dan latihan kepemimpinan pertama, melalui proses pernikahannya dengan Siti Khadijah yang nota bene adalah seorang janda berusia 40 tahun. Pada semester kelima atau semester terakhir, dalam diri Rasul muncul ketidakpuasan dan sikap kritis terhadap fenomena kejahiliahan yang terjadi di kota Makkah ketika itu. Sehingga muncul kegelisahan intelektual dalam diri Rasul, yang mengantarkan beliau pada proses kontemplatif di gua Hira. Proses perenungan itu memakan waktu berbulan-bulan, dan Rasul mengerahkan segenap daya fikir dan spiritualnya untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di gua Hira ini adalah upaya keras yang melebihi upaya keras para sarjana untuk mengerjakan skripsi, tesis, atau disertasi sekalipun!. Upaya Rasul ini membuahkan hasil, dan beliau lulus magna cum laude dari pendidikan Allah dengan anugerah gelar kenabian dan kerasulan, dengan ijazah Al-Qur’an, yang pertama kali diwakili oleh surah Al-Alaq 1-5.
Menurut penulis, sangat beralasan kalau Allah menurunkan surah Al-Alaq 1-5 sebagai wahyu pertama, karena kelima ayat ini sangat sarat akan nilai-nilai fundamental dan filosofis, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Kelima ayat tersebut menyentuh tiga aspek utama dari kehidupan, yaitu Tuhan, manusia dan alam, di mana ketika aspek ini juga menjadi jiwa zaman dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia. Yaitu, pada era Yunani kuno pola berfikir manusia yang polytheistik dan kosmosentris (berpusat pada alam). Pada abad pertengahan, khususnya setelah perkembangan ajaran Yahudi dan Kristen, pola berfikir manusia sangat theosentris (berpusat pada Tuhan). Kedatangan Islam semakin membuat pola berfikir theosentris mengalami masa puncaknya, yang dari Islam diwakili oleh Imam al-Ghazali (Ihya Ulumuddin), dan diikuti oleh teolog Kristen, yaitu Thomas Aquinas (Summa Theologia). Sejak era renaisans, subyek berfikir manusia terpusat pada manusia (anthroposentris), dan hal tersebut masih terus berlangsung hingga kini di Barat. Sedangkan surah Al-Alaq 1-5, konsep yang mengejawantah adalah konsep Ma’rifatul-Rabb, Ma’rifatul-Insan dan Ma’rifatul-Alam. Ketiga konsep inilah inti pendidikan tauhid surah Al-Alaq 1-5.
Pada ayat 1-3, “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Mulia”. Secara ontologis ayat-ayat ini akan membantah argumen terkenal Rene Descartes “cogito ergo sum” (berfikir maka aku ada), atau barangkali menjadi solusi konflik berkepanjangan antara kubu rasionalis dan empirisis. Karena konsep “bacalah” (iqra) tidak hanya menjadi landasan proyeksi pengetahuan dalam Islam. Akan tetapi juga menjadi proyeksi filosofis, di mana dalam proses “membaca” tersebut, instrumen rasional dan indriawi (empirik) bekerja secara integral. Dan memang dalam doktrin Islam tidak ada dikotomi antara yang rasional dan yang empirik. Term rasional, empirik dan intuitif biasa disentuh oleh al-Qur’an dengan term “sam’a wal abshara wal af’idah” atau dalam term-term lainnya, yang sedari awal tidak ada dikotomi konseptual di dalamnya. Sedangkan pada ayat 4-5, “Yang mengajar manusia dengan pena (kalam), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”, terdapat isyarat epistemologis pada ayat ke empat, yaitu pada term “kalam” yang bermakna sumber pengetahuan universal absolut. Penjelasan mengenai “kalam” kembali di pertegas oleh Allah pada surah kedua yang turun, yaitu surah Al-Qalam, di mana Allah membantah tuduhan orang-orang kafir Quraisy, bahwa Nabi adalah seorang yang gila, karena Nabi sudah mengetahui epistemologi wahyu Allah. Pada ayat kelima terdapat isyarat aksiologis, bahwa kebenaran wahyu Allah harus diajarkan dan disebarkan, karena kedatangan Islam sebagai rahmat Allah bagi seluruh seru sekalian alam (Rahmatan lil Alamin).
Dalam sirah nabawiyah diceritakan bahwa setelah wahyu pertama turun, terdapat masa yang relatif lama, hingga turun wahyu yang kedua. Bahkan sampai-sampai Rasul hampir menjatuhkan dirinya ke dalam jurang, karena keputusasaannya. Ini adalah pertanda bahwa lima ayat pertama tersebut menjadi landasan penting dari tauhid, dan butuh eksplorasi pemikiran secara mendalam, sehingga lahir kesadaran eksistensial sebagai hamba Tuhan, dan kesadaran tersebut diproklamasikan dengan dua kalimat syahadat. Barangkali tema-tema substansial yang terkandung dalam lima ayat tersebut yang menjadi landasan konseptual pengakaderan Rasul terhadap para “Assabiqunal Awwalun” di rumah al-Arqam bin Arqam. Sehingga membuat sahabat-sahabat utama seperti Bilal Bin Rabbah, Ammar Bin Yasir, Mush’ab Bin Umair dan lain-lain, memiliki keteguhan tauhid yang luar biasa, walaupun disiksa secara kejam.

*Oleh : Abdurrohim Mahasiswa S2 Jurusan pemikiran pendidikan Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

[www.stishidayatullah.ac.id]

Selasa, 25 September 2007

Imam Maksum bertaklid buta pada Umar bin Khattab

Bulan Ramadhan telah tiba, kaum muslimin menyambutnya dengan gembira, nampak perubahan yang nyata di sekitar kita –masyarakat muslim Indonesia-, masjid-masjid yang biasanya melompong jadi penuh saat shalat trawih –walau akhirnya kosong lagi setelah Ramadhan-, ini semua karena menyambut Ramadhan yang mulia. Kaum muslimin dari Maroko sampai Merauke –sampai ke negeri matahari terbit, bahkan sampai ke Amerika dan Eropa- melakukan shalat trawih di malam-malam bulan Ramadhan, mengharapkan keridhaan Allah dan menggunakan kesempatan bulan Ramadhan untuk memperbanyak amal shaleh.

Tetapi ada sebagian mereka yang mengaku muslim, mereka tidak nampak bergembira di bulan Ramadhan. Mereka tidak pergi ke masjid untuk melakukan shalat trawih, menghabiskan malamnya dengan ngobrol dan beraktivitas di rumah masing-masing. Ketika ditanya, mereka menjawab demikian: shalat trawih itu buatan Umar bin Khattab, bukan ajaran dari Nabi, lihat saja di Shahih Bukhari, kitab shahih kalian sendiri. Mereka menghujat Umar bin Khattab, mengatakan bahwa kaum muslimin mengikuti ajaran Umar bin Khattab bukannya ajaran Nabi Muhammad. Inilah jawaban mereka. Siapa mereka? Mereka adalah umat syiah, yang katanya mengikuti ahlulbait –keluarga Nabi-.

Intinya mereka menolak shalat trawih karena merasa bahwa orang pertama yang memulai shalat trawih adalah Umar bin Khattab, sang pemusnah imperium persia raya –yang sedang dibangun lagi pada hari-hari ini-.

Tetapi setelah diteliti lagi dalam kitab-kitab literatur syiah, ternyata kita temukan riwayat-riwayat dari para Imam yang merupakan keluarga Nabi memerintahkan untuk shalat trawih.

Pertanyaannya, apakah mereka tidak pernah membaca riwayat mereka sendiri? Ini pertanyaan yang mengherankan, tetapi jika kita lihat realita mereka, akhirnya kita bisa memahami, kebanyakan umat syiah di Indonesia orang intelek –akademisi- tapi mereka miskin dalam ilmu syar’I, akhirnya terperangkap dalam ajaran yang memisahkan diri dari ajaran Islam yang dianut turun temurun sejak jaman Nabi hingga hari ini. Apakah di antara mereka tidak ada ustadz yang belajar agama sehingga bisa mengakses kitab-kitab literatur induk dan menyampaikan isinya?

Mari kita simak beberapa riwayat;

Dari Abul Abbas dan Ubaid bin Zurarah dari Abu Abdillah Alaihissalam mengatakan: Rasulullah SAW menambah rakaat shalatnya di bulan Ramadhan, setelah shalat atamah (shalat isya’) beliau shalat lagi, orang-orang shalat di belakangnya, lalu beliau masuk ke rumahnya dan membiarkan orang-orang shalat di masjid. Lalu beliau keluar lagi ke masjid dan shalat lagi, orang-orang pun berdatangan dan shalat di belakangnya. Rasulullah SAAW selalu masuk dan meninggalkan mereka. Rasulullah SAAW (atau Imam Al Baqir) mengatakan: jangan shalat setelah Isya’ kecuali di bulan Ramadhan.

Tahdzibul Ahkam jilid 3 Bab Keutamaan bulan Ramadhan dan Shalat sunnah lebih dari shalat sunnah yang biasa dikerjakan bulan-bulan lain.

Artinya, Rasulullah selalu shalat trawih setelah isya di bulan Ramadhan, ketika para shabat berdatangan untuk shalat di belakangnya, Rasulullah pun masuk, begitu berulang kali. Beliau juga bersabda: jangan shalat sunnah setelah isya kecuali di bulan ramadhan. Maksudnya bukan larangan shalat sunnah rawatib, tetapi shalat seperti shalat trawih di bulan ramadhan.

Riwayat yang mirip juga disebutkan dalam Kitab Al Kafi jilid 4 dan kitab Wasa’ilus Syi’ah jilid 8.

Juga dikuatkan dalam kitab Jawahirul Kalam fi syarhi syara’I Al Islam jilid 13 hal 140-141

Juga dalam kitab Ghana’imul Ayyam fi Masa’il Al Halal wal Haram karya Abul Qasim Al Qummi jilid 3 hal 110-113

Juga disebutkan dalam sebuah riwayat dari Imam Ja’far As Shadiq: ketika Amirul Mukminin –Ali- tiba di kota Kufah, beliau memerintahkan Hasan bin Ali untuk mengumumkan : tidak ada shalat jamaah di masjid pada bulan ramadhan, lalu hasan pun mengumumkan di tengah masyarakat, mendengar pengumuman itu masyarakat berteriak: Duhai ajaran Umar, duhai Ajaran Umar, Hasan pun kembali menghadap Ali, Ali bertanya : suara apa itu? hasan menjawab: Wahai Amirul Mukminin, orang-orang berteriak: duhai ajaran Umar, duhai ajaran Umar, lalu Amirul Mukminin mengatakan: shalatlah

Lihat Tahdzibul Ahkam, jilid 3,

Juga wasa’ilus Syi’ah jilid 8 hal 17-48 Bab Keutamaan bulan Ramadhan dan Shalat sunnah lebih dari shalat sunnah yang biasa dikerjakan bulan2 lain.

Begitu juga hadits ini dikuatkan dalam kitab Hada’iq Nazhirah fi Ahkam Al Itrah At Thahirah, karya Yusuf Al Bahrani jilid 10 hal 520-522

Kita lihat di Amirul Mukminin memerintahkan untuk shalat sunnah berjamaah setelah isya di bulan Ramadhan. Padahal kita tahu bahwa imam Ali adalah maksum –diyakini oleh ummat syiah terpelihara dari kesalahan- seperti kita bahas pada makalah sebelumnya. Silahkan melihat kembali makalah itu di situs ini.

Ali memerintahkan untuk shalat trawih, mengapa perintah Ali dianggap sebagai bid’ah?

Jika kita melihat jawaban yang muncul dari umat syiah bahwa shalat trawih adalah buatan Umar bin Khattab, ternyata riwayat-riwayat di atas sesuai dengan ajaran Umar bin Khattab. Ini bisa berarti dua hal, yang pertama, ajaran Umar bin Khattab sesuai dengan ajaran Nabi dan 12 imam maksum, atau para Imam syiah menggunakan ajaran dari Umar bin Khattab.

Lagipula jika umat syiah masih menganggap shalat trawih sebagai bid’ah, mengapa para imam syiah menyetujui bid’ah –bahkan mendukungnya- dan tidak menumpasnya? Padahal dalam kitab syiah ada sebuah riwayat:

Dari Muhamamd bin Jumhur Al Ammi, Rasulullah SAAW bersabda: jika bid’ah telah tampak pada ummatku, maka orang berilmu harus menunjukkan ilmunya, jika tidak maka dia akan dilaknat oleh Allah

Lihat dalam kitab Al Mahasin jilid 1 hal 176 – 231, juga Al Kafi jilid 1.

juga riwayat berikut:

Dari Abu Abdillah, dari ayahnya dan kakeknya: bahwa Ali mengatakan: orang berilmu yang menyembunyikan ilmunya akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan berbau busuk, dilaknat oleh setiap binatang di bumi, sampai binatang kecil pun melaknatnya.

Al Mahasin jilid 2 hal 177-231

Imam yang maksum bukannya melarang tersebarnya bid’ah tapi malah menggalakkan dan menyetujui bid’ah, apakah Ali akan dibangkitkan dalam keadaan berbau busuk di hari kiamat? Atau dia akan terkena laknat Allah dan binatang–binatang kecil?

wallahu a’lam bish showab...

[www.arrahmah.com]

Para Pencari Tuhan

oleh: Yulius Haflan

Bagi yang sahur sekitar jam 3 pagi, mungkin pernah atau sesekali menonton sebuah sinetron yang ditayangkan oleh SCTV yang berjudul Para Pencari Tuhan. Sungguh menarik sinetron ini, terutama tidak hanya tema yang bernafaskan Ramadhan. Tapi yang lebih menarik adalah bagaimana mengemas suatu sinetron Ramadhan menjadi tontonan yang segar, penuh nilai, dan yang penting adalah tidak menggurui.

Sinetron yang diproduksi PT Demi Gisela Citra Sinema -- rumah produksi milik Deddy Mizwar ini --dibintangi oleh Deddy Mizwar, Zaskia A Mecca, Ferry alias Akri Patrio, Annisa Suci, dan tiga komedian pendatang baru dari grup Bajaj. Deddy Mizwar mengatakan bahwa selama ini dirinya cukup resah terhadap tayangan TV di masa Ramadhan yang telah terlalu banyak menyajikan acara hura-hura saja. ''Bahkan, hampir semua tayangan TV siaran langsung di pagi hari itu yang sudah kabur isi dan pesannya,'' kata aktor senior ini. ''Untuk itu, kami berharap tayangan yang akan hadir di SCTV ini bisa lebih banyak memberikan manfaat lewat pesan dan isi yang jelas lewat sinetron Para Pencari Tuhan ini.'' (www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=306124&kat_id=383)

Cukup menarik dengan apa yang dikatakan oleh Oom Deddy 'Naga Bonar' Mizwar ini. Mungkin tidak semuanya seperti itu, seperti yang dilakukan oleh MetroTV dengan menayangkan Tafsir Al Misbah dan Sahur Bareng Republik Mimpi. Namun tayangan-tayangan lain yang lebih mengumbar kuis yang tidak jelas tentu perlu disayangkan. Pendekatan yang dilakukan oleh SCTV ini paling tidak memberi alternatif tontonan yang mendidik sekaligus menghibur.

Judul Sinetron: Para Pencari Tuhan

Pemain: Deddy Mizwar, Zaskia A Mecca, Ferry alias Akri Patrio, Annisa Suci, dan tiga komedian pendatang baru dari grup Bajaj

Produksi: PT Demi Gisela Citra Sinema

Stasiun TV: SCTV

Waktu: Selama Bulan Ramadhan, jam 03.00 s/d 04.30
[www.wikimu.com]

Homeschooling Ala Pesantren

Setiap orang tua menginginkan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Berbagai jenis sekolah saat ini telah muncul bagai jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan diri sebagai sekolah dengan nilai plus agar dipilih orangtua bagi anaknya. Ada yg memakai bahasa asing, menyediakan beragam aktivitas di luar kelas, ruang kelas ber-AC, hingga sekolah yg mengklaim diri menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum berbasis kompetensi dari Diknas.

Apa pun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu, ternyata tidak kunjung bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Sampai saat ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan, hingga pemilik lapangan pekerjaan. Baik karena mutu pendidikan yang rendah, kemerosotan akhlak siswa, juga ketidakmampuan lulusan sekolah dalam menghadapi realitas permasalahan di lingkungan masyarakat. Betapa banyak anak sekolah justru menjadi anggota geng kenakalan remaja, tawuran, dan mengkonsumsi narkoba lewat pergaulan sesama teman sekolah. Banyak pula lulusan sekolah justru menjadi penganggur karena sekolah lebih mengajarkan keseragaman dan bukan kreatifitas. Pakar pemasaran Jack Trout, pernah menulis buku yang sangat berpengaruh, Differentiate or Die yang menegaskan bahwa di era saat ini perbedaan adalah sangat penting dalam berkompetisi. Tanpa ada pembedaan maka produk akan mudah dilupakan konsumen. Demikian pula keseragaman yg dibentuk sekolah justru akan mematikan potensi siswa untuk kreatif dan survive dilapangan yg penuh persaingan.

Mendidik Tidak Sama dengan Menyekolahkan
Berbincang masalah homeshooling maka topik pertanyaan kini bergeser. Dari mempertanyakan legalitas lulusannya kepada pertanyaan yang lebih esensial, mampukah orangtua mendidik anaknya sendiri sebaik pendidikan formal? Ini karena undang-undang pendidikan saat ini telah mengakui pendidikan luar sekolah tidak saja dapat menjadi pelengkap namun juga dapat menggantikan pendidikan sekolah. Tinggal seberapa kesiapan orangtua mendidik anak-anaknya.

Di samping alasan tidak puas dengan hasil pendidikan sekolah saat ini, alasan kendala jarak, atau keinginan agar orang tua lebih banyak berinteraksi dengan anak, ada pertimbangan lain yang menarik yaitu keinginan menanamkan nilai-nilai Islam sesuai keinginan orangtua. Ketiadaan jaminan bahwa anak dididik di sekolah sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai orangtua membuat sebagian orangtua bersikeras mendidik anaknya sendiri di rumah.

Pendidikan juga meliputi pembentukan kepribadian, bukan hanya mengajarkan pengetahuan. Bukan sekedar know how tetapi being. Untuk membentuk kepribadian maka rumusnya adalah pembiasaan. Pembiasaan ini baru berhasil jika lingkungan mendukung. Harus ada contoh konkrit yang bisa ditiru dan jadi panutan. Harus ada pengalaman sehari-hari yang langsung dirasakan. Tentu dengan konsekuensi merasakan hukuman yang kadang berupa kegagalan yang pahit. Lingkungan sekolah dalam hal ini seringkali gagal dalam menyajikan realitas yg membentuk kepribadian yg tangguh. Yang lebih banyak diberikan adalah teori dan pelajaran untuk dihafalkan.

Betapa menjamurnya sinetron TV saat ini yang menggambarkan kehidupan penuh glamour dan hanya menjual mimpi. Sering sinetron mengumbar kekerasan dan mengeksploitasi seks untuk mendapatkan rating pemirsa yang tinggi. Sinetron seperti ini sungguh tidak layak ditonton. Lantas bagaimana membatasi dan mensensor tontonan anak jika ternyata orangtuanya sendiri hobinya nonton sinetron? Bagamana pula membatasi nonton film jika ternyata film kartun anak pun tidak lagi aman ditonton? Beberapa film seri anak seperti Dragon Ball, detektif Conan, Sincan juga SamuraiX jauh dari tontonan yang mendidik. Film anak itu penuh dengan adegan kekerasan, pembunuhan dan prilaku kasar serta prilaku buruk lain yang tak pantas dilihat anak.

Kurikulum dan Materi Belajar
Orang tua homeschoooling harus kritis dalam mengajarkan materi kepada anak-anaknya. Untuk apa materi ini diajarkan jika kemudian tidak bermanfaat bagi anak pada kehidupannya. Setiap sesuatu yang diajarkan atau dibacakan untuk anak selalu dicoba untuk menterjemahkan sebaik mungkin ke dalam realitas. Ini yang berbeda dengan sistem sekolah yang seringkali hanya mengajarkan pengetahuan hanya sekedar untuk dihafal tanpa melihat kontek permasalahan yang dihadapi anak. Anak-anak homeschooler belajar sangat dini perbedaan antara mengetahui nama sesuatu dibandingkan mengetahui hakikat sesuatu.

Dalam hal kecepatan belajar maka sistem homeschooling sangat adaptif dengan kemampuan anak. Hasilnya bukan lebih lambat, banyak di antara anak homeschooler baru berumur 16 tahun tetapi sudah menyelesaikan materi SMA. Homechooling menggunakan jadwal belajar tidak ketat seperti di sekolah tetapi disesuaikan dengan kebutuhan materi yang dipelajari. Mereka juga tidak mengenal liburan panjang sekolah karena mereka belajar hampir sepanjang tahun di saat liburan sekalipun.

Salah satu kunci sukses belajar di luar sekolah adalah antusiasme. Hampir bisa dipastikan hanya mereka yang antusias yang akan berhasil di’sekolah’ yang aturannya sangat fleksibel ini. Prinsipnya seperti kata-kata bijak Aristotle:We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit. Dan untuk membangun antusiasme maka metode yg paling efektif adalah dengan mengikuti hobi anak dan cara apa yang paling mereka sukai.

Saat ini tersedia banyak sekali sumber belajar. Baik buku-buku ajar, ensiklopedia, CD pendidikan, chanel TV pendidikan, sampai internet sebagai sumber informasi yang berlimpah. Jika sumber belajar melimpah maka anak dapat mempelajari lebih banyak dari pada tuntutan kurikulum atau tuntutan orangtuanya. Keingintahuan anak seringkali tumbuh begitu kuat sehingga sanggup belajar dalam waktu yang lama dengan intensitas yang tinggi. Di negara-negara maju tidak sedikit keluarga yang memilih menyekolahkan anaknya di rumah dengan alasan banyak lembaga pendidikan resmi yang menyediakan kurikulum dan silabus sejak tingkat TK sampai perguruan tinggi. Media internet digunakan secara aktif untuk mengirimkan bahan belajar maupun bahan test secara online.

Sistem Ujian
Dalam mengerjakan bahan ujian, maka kejujuran orangtua sangat diuji. Apakah dia mau membiarkan anak mengerjakan sendiri atau dibantu. Kebanyakan pembelajar alam tidak lagi terlalu mengejar nilai bagus. Mereka tidak lagi disibukkan dengan mengejar gengsi rangking kelas dan lebih menekankan mengajarkan kejujuran pada anak akan hasil kemampuan diri yang sesungguhnya.

Untuk homeschooler dengan lisensi asing lewat internet maka lembar jawaban ujian dikirim kembali ke lembaga pendidikan jarak jauh untuk dinilai. Jika lulus ujian maka anak akan mendapat sertifikat sehingga bisa melanjutkan ke jenjang berikut. Banyak lembaga pendidikan internasional jarak jauh yang sertifikatnya diakui di Indonesia sebagai lulusan dari luar negeri. Lulusan homeschoooling terbukti ada yg diterima di UI.

Peserta homeschool memang harus mengikuti ujian kesetaraan bila ingin kembali melanjutkan pendidikan ke sekolah formal. Mereka bisa mendapat ijasah kesetaraan di pendidikan nasional melalui paket ujian A (SD), B (SMP), dan C (SMA). Jika mereka lulus, berarti kemampuannya sudah setara.

Sebelum itu, mereka mesti mendaftar di lembaga pendidikan nonformal, seperti pusat kegiatan belajar masyarakat atau lembaga kursus yang menyediakan persiapan dan ujian tersebut. Saat ini terdapat lebih dari 3.000 lembaga yang tersebar di berbagai daerah. Setelah terdaftar, mereka dapat mengikuti proses pendidikan dalam waktu tertentu di sana, baru kemudian ikut ujian. Berbekal tanda lulus ujian itu, homeschooler bisa mendaftar ke sekolah formal yang ada.

Sistem Belajar
Homeschooling menggunakan sistem belajar yang disesuaikan dengan kondisi anak dan orangtua. Salah satu cara belajar homeschoooling adalah sistem campuran. Sistem belajar yang sebagian di rumah, separuh lagi di Morning Star Academy (MSA), sekolah yang mendukung program bersekolah di rumah. Setiap anak bersekolah hanya tiga hari dalam seminggu, yakni Senin-Rabu-Jumat atau Selasa-Kamis-Sabtu. Semua orangtua murid terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini. Bahkan, 90 persen guru MSA adalah orangtua murid. MSA juga menyediakan modul panduan belajar berstandar internasional. Tiap modul seharga Rp 2,5 juta untuk setahun belajar.

Program homeschool model MSA ini telah ada sejak tahun 2002. Diawali 20 keluarga dengan 50 anak, yang berkumpul di Jakarta Selatan untuk menyelenggarakan pendidikan bersama. Jadilah tempat itu sebagai komunitas untuk bersosialisasi dan belajar. Kini tercatat 150 keluarga dan sekitar 300 anak bergabung di MSA. Sayangnya MSA yang merupakan lisesi luar negri ini adalah asosiasi pendidikan kristen, sehingga banyak keluarga muslim belum menerima dan ingin mengembangkan model homeschooling yang islami. Homeschooling ala pesantren.

Di daerah juga muncul pendidikan alternatif yang berbasis masyarakat. Sistem sekolah model SMP terbuka seperti SMP Alternatif Qoryah Thoyyibah di Salatiga dan SMP Alternatif Otek Makmur di dusun Glinggang Kemusu Boyolali adalah sekolah yang relatif ‘bebas’ dalam menentukan kurikulum dan sistem pembelajaran. Dan kalau dicermati sesungguhnya program TV seperti Kontes AFI, KDI, Pildacil atau API juga salah satu bentuk homeschooling. Bahkan tradisi pesantren lama sesungguhnya pun menerapkan prinsip homeschooling. Santri-santri tidak masuk kelas berdasarkan usia tertentu tetapi pembelajaran menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Santri-santri yg rajin dan pandai bisa lulus lebih cepat. Tapi ada juga yg bertahun-tahun tidak lulus pesantren karena cara belajarnya nyantai.

Komunitas ‘Berkemas’ binaan Ibu Yayah Komariah
Apa yg diusahakan oleh Ibu Yayah Komariah, ketua Komunitas Homeschooling BERKEMAS, patut dijadikan rujukan. Berangkat dari keprihatinan nasib pendidikan anak-anaknya yang sering ia tinggalkan karena sibuk mengajar SDIT yang fullday. Sementara itu anaknya sendiri tidak mampu sekolah di tempat ia mengajar arena biayanya yg tinggi. Daripada mengurusi anak orang lain tetapi anak sendiri tidak terurus maka ia keluar dari tempat mengajar dan mulai mengajar anaknya sendiri di rumah. Beberapa anak tetangga kemudian bergabung. Pengajarnya pun mulai beragam karena Berkemas memanfaatkan keberadaan tokoh-tokoh masyarakat di lingkungan sekitar. (Takmir masjid, pensiunan dinas perkebunan, LSM).

Dibutuhkan kreatifitas yang tinggi untuk mengatasi berbagai kendala yg muncul. Bahan-bahan belajar cukup difoto copy. Pengalaman mengajar dengan diterapkan kepada anak-anaknya sendiri. Jika ingin mengajarkan alat transportasi anak-anak Berkemas langsung diajak keliling kota dengan menggunakan alat transportasi yg tersedia. Naik bus kota, naik Transjakarta atau Busway kemudian naik kereta. Selain mengunjungi terminal bus dan stasiun kereta anak-anak juga diajak ke bandara dan pelabuhan. Anak-anak mengalami sendiri naik berbagai alat transportasi lalu diminta menuliskan pengalamannya.

Pendapat para tokoh
Sementara itu, pengamat pendidikan Dr Arief Rachman MpD mengatakan, materi bersekolah di rumah sebenarnya tidak ada bedanya dengan pendidikan di sekolah. Namun penyampaiannya yang berbeda, karena di rumah memakai pendekatan yang lebih personal. Bersekolah di rumah mengembalikan konsep dasar pendidikan, yakni pada keluarga, bukan pihak lain seperti sekolah. Anak menjadi mandiri dan hubungan dengan keluarganya harmonis.

Dunia Tanpa Sekolah, Mungkinkah? (Kisah Nyata Seorang Anak Usia 15 tahunyang Terpenjara oleh Sekolah Formal)

Penulis : M.Izza Ahsin
Tebal : 252 hlm
Penerbit : Read! Publishing House (Kelompok Mizan)
Cetakan : I, April 2007

Di negara ini, anak sekolah yang drop out banyak. Ada berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Yang paling utama, faktor ekonomi. Alias ketidakmampuan membayar ongkos pendidikan yang semakin mahal dari hari ke hari. Namun, di kota kecil di Jawa Tengah, Salatiga, ada seorang anak sekolah menengah pertama (SMP) memutuskan untuk berhenti sekolah tiga bulan menjelang ujian nasional (UN). Bukan karena takut tak lulus melainkan ingin konsentrasi menulis.

Muhammad Izza Ahsin Sidqi, menuliskan kisah yang dialaminya dalam buku ini. Buku ini menuturkan kegalauan seorang Izza yang merasa terkungkung di dalam penjara yang bernama sekolah. Meski ia bersekolah di sekolah paling favorit dan terbaik di kotanya, tetapi ia tak menemukan kondisi ideal di sana. Guru-guru yang masih mengajar secara konvensional dan senang “meneror” secara fisik maupun mental dengan dalih disiplin dan supaya anak didik menguasai bahan ajar membuat Izza yang dkenal sebagai murid pendiam dan bukan pembuat onar “memberontak”. Puncaknya, ia meminta ijin kepada kedua orangtuanya untuk berhenti sekolah. Apa reaksi sang ayah dan ibu? Marah besar. Apalagi mereka adalah guru-guru berprestasi. Apa kata dunia jika anak guru tak sekolah?

Izza bukanlah anak yang bodoh. Kebiasaan membaca buku-buku “berat” sedari sekolah dasar (SD) membuatnya punya wawasan yang melebihi seorang mahasiswa sekalipun. Gayanya menulis menunjukkan betapa ia telah banyak belajar dari buku-buku yang dibacanya itu. Dalam bukunya ini Izza mengisahkan bagaimana ia berusaha meyakinkan kedua orang tuanya selama delapan bulan agar mengijinkannya berhenti sekolah. Adu argumen, bahkan pecahan piring karena bantingan sang ayah mewarnai diskusi-diskusi mereka.

Pada halaman 30, pembaca dapat mengetahui perdebatan antara Izza dan ayahya. “JANGAN PERNAH BERPIKIR SEPERTI ITU! Tidakkah lebih baik bagimu hidup seperti air mengalir saja dan berhasil dalam menulis dan sekolah? Menyatakan diri tak mau sekolah sama saja ingin menanggung malu! ORANG AKAN MENGANGGAPMU SOMBONG, NAKAL, DAN TAK TAHU DIRI!” kata ayahnya.

Apa pula jawaban sang anak? “Aku tidak bisa berhasil dalam keduanya. Aku tidak peduli komentar orang lain kalau misalnya aku diijinkan… Sekarang yang paling penting bagiku adalah menulis, tak ada hal lain! Dan aku hanya ingin bebas! Sekolah seperti penjara yang mengurungku dalam ketidakpastian.... aku bisa menciptakan sekolahku sendiri. Dengan ajaran berbagai buku, aku bisa belajar sendiri!”

Menarik sekali apa yang dikatakan Izza, “aku bisa belajar sendiri!” Bukankah inilah esensi dari sekolah (belajar) itu? Yakni membuat orang sekolah (belajar) mau belajar. Tapi apa yang kita lihat saat ini? Banyak orang yang sekolah tetapi tidak mau belajar.

Salah siapa? Mungkin ini semua salah kita. Karena kita seringkali hanya menilai kecerdasan berdasarkan tinggi atau tidaknya pendidikan formal seseorang. Padahal belajar itu dapat dilakukan dimana saja (bukan hanya di sekolah) dan sepanjang hayat (bukan dibatasi oleh waktu sembilan tahun). Dan yang terpenting belajar (memperoleh pendidikan) bukanlah kewajiban melainkan hak anak!

Lagipula menurut Einstein, pendidikan adalah sesuatu yang tidak terlupakan di kepala sampai kapan pun, serta memberi kesan mendalam kepada yang menimbanya. Namun, sekolah kita mengharuskan penguasaan segala disiplin ilmu pada waktu yang bersamaan dan tidak mengakomodasi perbedaan minat (hlm 95).

Dalam buku ini, juga diceritakan bagaimana Izza berusaha mewujudkan impiannya menyempurnakan novel pertamanya. Sepuluh jam sehari dihabiskan untuk riset, mengetik dan merevisi naskah. Inilah salah satu alasan Izza keluar dari sekolah. Ia ingin fokus menggapai menulis.

Ingat Anggun dan Agnes? Mereka adalah orang-orang yang fokus di bidangnya. Anggun rela meninggalkan tanah airnya dan tidak menamatkan SMA. Namun, ia berhasil menjadi penyanyi internasional. Siapa pula yang tak tahu Agnes. Artis multitalenta dan berhasil dalam akademis (pintar), rela “berhenti sementara” dari kuliahnya demi usahanya untuk go international. Demikian juga Izza, meski belum menjadi penulis besar tetapi berani melawan arus untuk menggapai impiannya. Mereka semua sesungguhnya adalah orang-orang yang berhasil. Karena, hakikat keberhasilan itu adalah tatkala seseorang memiliki pilihan hidup. Bukankah begitu?

[NURZANNAH, A. M, / www.tkmasjidsyuhada.com]