Kamis, 31 Januari 2008

Islam Liberal dan Musyrikin Mekah

Sebelum kebangkitan Muhammad saw. sebagai utusan Allah SWT, masyarakat Mekah setidaknya menyimpan dua idiologi. Pertama, sisa agama Ibrahim yang masih mempertahankan tauhid (keesaan Allah SWT) atau lebih populer dengan sebutan "al-hanifiyah". Kedua, kaum musyrikin yang terkenal dengan idiologi paganismenya. Mereka mempertuhankan batu dan benda. Namun, ketika mereka menyembah patung-patung berhala itu tidak serta-merta dikatakan bahwa mereka tidak meyakini adanya Tuhan. Pasalnya, sebagian mereka mengakui bahwa patung-patung itu mereka sembah sebagai perantara (mediator) yang menghubungkan mereka dengan Allah.

Begitulah keyakinan mereka seperti disebutkan Allah dalam Al-Qur'an surah Az-Zumar ayat 3, "Tidaklah kami menyembah mereka, melainkan untuk mendekatkan kami kepada Allah." Kepercayaan mereka tidak sebatas pada pengakuan adanya Tuhan saja. Kaum musyrikin Mekah juga percaya bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Hal ini juga tergambar dari pemberitaan Allah dalam Al-Qur'an surah Luqman ayat 25, "Jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka menjawab, 'Allah'." Kepercayaan mereka ini dalam bahasa aqidahnya ialah "tauhid rububiyyah". Artinya, keyakinan kepada Allah sebagai pencipta alam, yang menghidupkan, mematikan, dam memberi rezeki.

Tetapi, dalam kondisi seperti ini, mereka masih dicap sebagai kafir dan musyrik. Sebab, mereka tidak mengilahkan Allah SWT dalam ubudiah. Mereka tidak tunduk kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah. Mereka tidak menjadikan Allah sebagai Al-Hakim dan Asy-Syar'i (pembuat hukum dan legislator). Mereka membuat cara, ajaran, dan nilai sendiri dalam mendekatkan dirinya kepada Allah dengan cara membuat tuhan-tuhan kecil sebagai perantara kepada Allah. Mereka lebih patuh kepada peraturan yang mereka buat sendiri untuk menggantikan hukum yang telah diturunkan Allah. Tauhid inilah yang membedakan antara seorang mukmin dengan orang musyrik. Tauhid ini disebut "tauhid uluhiyyah".

Bencana besar yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah terperosok ke dalam kemusyrikan yang mungkin tidak disadari akibat keawaman. Anda jangan mengira bahwa musyrik itu hanya orang yang menyembah Tuhan dengan cara ritual agama di luar Islam. Atau, orang yang percaya kepada roh-roh halus dan meminta bantuan kepada kekuatan ghaib, seperti jin dan syaithan. Bukan itu saja yang disebut musyrik. Tetapi, tidak kalah dari apa yang disebutkan itu adalah musyrik dalam soal pemikiran. Seseorang yang meyakini kebenaran pemikiran orang kafir yang bertentangan dengan ajaran Islam juga sudah menjadi musyrik. Orang yang menerima ajaran Karl Marx, Lenin, Darwin, dan pemikir-pemikir Barat lainnya, sebenarnya sudah menjadi musyrik, apalagi membela dan memperjuangkannya. Karena, pemikiran mereka itu tidak berbeda dengan paham, aliran, atau dalam bahasa Al-Qur'an disebut millah.

Pada zaman modern ini banyak kaum intelek kita yang terkagum-kagum dengan pemikiran yang datang dari Barat, untuk menggantikan Islam. Jika ditelusuri, akan diketahui bahwa hal itu berawal dari sejak masuknya penjajah Barat ke negeri-negeri muslim. Imperialis Barat tidak sekadar merampas kekayaan alam negeri-negeri muslim, tetapi juga merampas aqidah, mencuci otak, menghapus identitas, dan menghilangkan rasa kebanggaan pada jati diri mereka. Untuk kalangan tertentu, program imperialis itu boleh dibilang berhasil. Pasalnya, mereka itu betul-betul membeo dan mengekor ke Barat. Bukan hanya dalam hal teknologi--yang masih bisa ditoleransi, tetapi sampai ke pemikiran, opini, paradigma, bahkan sampai budaya, seperti cara berpakaian, cara makan, dansa, musik, dan sejenisnya.

Pada awal kemerdekaan banyak sekali kaum terpelajar kita, terutama mereka yang pernah dididik di Barat, termakan oleh paham sekularisme. Agama (Islam) dituduh biang keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Pendidikan ala Barat membentuk pola pikir manusia menjadi sekuler. Menurut mereka, barat bisa membangun dan mencerdaskan (padahal bukannya membangun tetapi menjajah dan menghancurkan) adalah karena meninggalkan agama. Adapun umat Islam terjajah karena masih mempercayai kebenaran agama sebagai doktrin untuk mengatur kehidupan, atau terlalu fanatik pada agama.

Setelah bangsa-bangsa muslim itu merdeka, doktrin berikutnya adalah alasan mengapa negara-negara Barat itu bisa maju dalam teknologi, pembangunan, dan kehidupan masyarakatnya. Menurut mereka, hal itu disebabkan bangsa Barat memegang teguh sekularisme, memisahkan negara dari agama.

Paham ini berkembang sedemikian rupa, sejalan dengan agenda pemerintah di negeri-negeri muslim. Pasalnya, penguasa-penguasa itu memang anak asuh kaum imperialis Barat, dididik di Barat, bahkan hidup juga di Barat, bergaul dengan orang Barat, dan cara hidupnya juga kebarat-baratan. Kaum muslimin yang berpegang teguh mempertahankan identitas dirinya dikatakan terbelakang, tidak modern, dan tidak mengikuti perkembangan zaman.

Kekuasaan adalah sarana yang sangat efektif untuk menyebarkan sebuah paham, terlepas benar atau salah paham tersebut. Ketika penguasa menganut paham sekularisme (walaupun seolah-olah ditolak), maka dengan mudah paham ini menyebar ke masyarakat melalui penanaman kurikulum pendidikan, pengaruh media massa, bahkan birokrasi.

Dalam tataran pemikiran, ada sekelompok cendekiawan yang gigih menyebarkan paham-paham Barat itu melalui buku, media massa, diskusi, dan ceramah di kampus. Bahasa-bahasa yang mereka gunakan biasanya bahasa-bahasa yang memukau, dan menjajikan sesuatu yang baru nan indah. Mereka menghendaki umat Islam keluar dari keyakinan dan pemahamannya, sebagaimana Barat meninggalkan agamanya.

Umpamanya, sudah tidak mungkin lagi mempraktikkan ajaran Islam itu secara harfiah, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., atau masa-masa sahabat dahulu. Bukankah kita sekarang sudah berada pada zaman globalisasi, yang dunia ini sudah menjadi kecil, ibarat kampung. Interaksi budaya yang sedemikian kental tak lagi bisa dihindari. Jika kita berkeras untuk mempraktikkan ajaran Islam, bukankan berarti kita akan tersisih dari pergaulan internasional?

Juga, mereka sering mempertanyakan model Islam bagaimana yang ingin diterapkan dalam dunia modern ini, apakah model Pakistan, Arab Saudi, Iran, atau Afghanistan? Pertanyaan mereka itu lebih bernada sinis ketimbang mencari tahu model penerapan yang ideal.

Pernyatan-pernyataan mereka yang menempatkan Islam seolah-olah sebagai tertuduh, tidak modern, kolot, dan tidak mengikuti perkembangan zaman sebenarnya tergesa-gesa. Karena, apa yang mereka katakan itu adalah berdasarkan kesimpulan apa yang terjadi saat ini. Mereka sama sekali tidak memandang jauh ke depan bagaimana pergerakan perubahan peradaban itu kemungkinan akan terjadi. Mereka tidak merenungkan kemungkinan bahwa Islam bisa bangkit dari apa yang terjadi saat ini.

Perguruan Tinggi Islam Menjadi Target Barat

Dalam mempropagandakan idiologi sekulernya, Barat menempuh segala cara dan menerobos segala lapangan. Tak saja pendidikan yang terkesan sekuler, seperti perguruan tinggi umum, paham sekuler juga disusupkan ke perguruan-perguruan tinggi Islam. Bahkan, sekarang sudah masuk ke ormas-ormas Islam yang besar. Tokoh-tokoh muda dari beberapa ormas Islam itu mereka besarkan dan populerkan namanya, hingga akhirnya kekuatan mereka tersebar di mana-mana.

Fenomena ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi sesuatu yang sudah direncanakan dengan matang dan diprogram dengan baik. Cara-cara mereka sungguh rapi dan halus, tetapi menghasilkan sebuah produk yang cukup menakjubkan. Mereka mengawali dengan kerja sama di bidang pendidikan dan penelitian, dengan pemberian beasiswa untuk belajar di negara-negara Barat, sarang orientalis Yahudi dan Kristen fundamentalis. Barat sudah lama membaca mentalitas orang-orang Timur yang terkagum-kagum pada Barat. Belajar ke Barat melahirkan kebanggaan tersendiri dalam kejiwaan orang-orang Timur. Hal ini dimanfaatkan orientalis dengan berkedok ilmiah dan penelitian. Sehingga, dengan mudah mereka mendoktrin peneliti-peneliti muda yang belajar di universitas-universitas mereka dengan paham dan idiologi mereka. Mahasiswa yang tadinya masih memiliki keteguhan dan kebanggaan pada Islam digoyahkan keyakinannya, dibuat menjadi ragu, dan akhirnya menisbikan segala idiologi.

Prinsip-prinsip yang mereka tanamkan dengan berkedok penelitian dan ilmiah tadi, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Kebenaran tidak bernilai mutlak tetapi relatif. 2. Kebenaran tidak satu tetapi banyak, tergantung dari sudut mana ia dilihat. Sesuatu yang benar menurut orang bisa saja dipandang salah oleh orang lain. Demikian pula halnya agama, agama tertentu dipandang benar oleh pemeluknya, tetapi pemeluk agama lain memandang salah. 3. Setiap informasi tidak ada yang kebal kritik. Semuanya bisa dipertanyakan (baca: diragukan) kebenarannya. Bila kaidah ini diterima, wahyu yang merupakan informasi dari Allah pun perlu dipertanyakan kebenarannya. Ini sebuah sikap yang tidak berjarak dengan kekafiran. Celakanya, kaidah ini hanya mereka gunakan ke luar (melihat Islam, sumber-sumber dan ajarannya), tidak mereka gunakan ke dalam idiologi mereka sendiri. Padahal, jika mereka gunakan ke intern mereka, semua keyakinan, idiologi, dan agama mereka akan hancur berkeping-keping dan tidak mengandung asas rasionalnya. Pasalnya, sumber-sumber keyakinan mereka sama sekali tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan validitasnya, apalagi rasionalitasnya. 4. Bila Anda ingin melihat sesuatu dengan jernih, Anda harus keluar dulu dari bagian yang dilihat. Jadi, bila Anda ingin mengetahui secara objektif apakah Islam itu benar atau tidak, maka Anda harus keluar dulu dari Islam. Atau, paling tidak Anda harus menghilangkan segala macam rasa keberpihakan kepada Islam. Kalau tidak demikian, maka analisis Anda tetap dinilai subjektif dan tidak jernih. Sikap ketidakberpihakan kepada agama Allah ini banyak lahir dari sarjana-sarjana produk Barat. Sebuah sikap yang tidak menggambarkan keimanan seorang muslim. 5. Bebas berpendapat. Siapa saja boleh mengatakan apa saja. Jadi, tidak ada sesuatu yang tabu, dan tidak ada koridor yang harus dijaga. Tidak ada batas yang tidak boleh dilanggar. Jika kaidah ini diterima, konsekuensinya adalah bahwa seseorang bebas mengingkari apa saja yang diajarkan Islam walaupun itu sudah merupakan sesuatu yang pasti (qath'i).

Mereka tidak banyak mengetahui tentang Al-Qur'an dan tidak mengerti hadits serta tidak memahami kitab-kitab klasik tetapi mau mengarungi samudera yang luas itu. Akhirnya, merekalah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu dan keangkuhan. Maka, terjadilah seperti apa yang kita lihat sekarang ini, suara-suara bebas yang sudah tidak lagi mengenal rambu-rambu itu menyerang Islam.

Beginilah cara-cara orientalis merusak pemikiran peneliti muslim yang belajar ke Barat, khususnya yang mengambil bidang kajian "Islamic Studies", "Studi Oriental", "Studi Timur Tengah", "Studi Kawasan", dan yang sejenisnya. Bagi mahasiswa, biasanya sudah langsung terperangkap dalam kaidah-kaidah itu. Ditolak susah, diterima agak berat. Tetapi, akhirnya lebih cenderung menerima, karena efeknya lebih ringan, ketimbang melawan arus pemikiran si profesor.

Ketika mereka kembali ke tanah air, pola berpikir seperti yang ditanamkan oleh gurunya itu mereka bawa kembali ke kampusnya dan mereka ajarkan, bahkan mereka kembangkan dengan inovasi-inovasi baru. Sehingga, tidak jarang ada "doktor-doktor" tamatan Barat yang pikirannya lebih liberal dari orientalis sendiri.

Alumnus Barat itu mengajarkan paham yang mereka terima kepada mahasiswanya di tanah air. Mereka menghasilkan para sarjana dan doktor di perguruan tinggi dalam negeri. Kemudian, mereka yang mendapat doktor di dalam negeri tadi kembali ke daerahnya menjadi dosen-dosen di program pascasarjana atau program S1 di perguruan tingginya. Mereka juga melakukan hal yang sama, menyebarkan hal serupa kepada mahasiswanya, memahami Islam dengan pola orientalis. Sehingga, dengan cara yang sistemik, paham sekuler dan pemahaman tentang Islam menurut pola orientalis itu menyebar dengan cepat dan tanpa terasa.

Mereka yang menjadi mahasiswa tadisetelah sarjana juga menyebarkan paham serupa ke masyarakat. Pasalnya, mereka akan menjadi rujukan di masyarakatnya, sebab mereka tamatan perguruan tinggi Islam dan mengajarkan bidang studi Islam. Lalu, seperti apa pemahaman Islam di Indonesia pada masa mendatang, bila agenda Barat itu berjalan mulus tanpa hambatan?

Barat Ketakutan pada Islam

Salah satu sikap mental yang diderita oleh Barat ialah ketakutan pada Islam dan umat Islam yang berpegang pada Islam. Sejak berakhirnya perang salib, pihak Barat senantiasa menyimpan rasa takut pada agama yang satu ini. Karena, dalam keyakinan mereka, Islam ini adalah agama yang menyimpan potensi dahsyat, mampu menggerakkan umatnya untuk melawan apa saja. Ini tidak pernah ada pada ajaran agama lain. Apalagi, kemajuan teknologi persenjataan modern tidak terlalu ampuh untuk menaklukkan umat Islam. Hal ini dipahami betul oleh kalangan Barat. Oleh karena itu, mereka benar-benar mewaspadai Islam, khususnya umat Islam yang tampak berpegang pada ajarannya.

Biarpun umat Islam mati-matian memberi pengertian bahwa Islam adalah agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, namun tetap saja pola pikir Barat itu tidak berubah. Karena, bagi Barat, bukan mereka yang dituntut untuk mengerti Islam, tetapi umat Islam yang harus mengerti Barat. Artinya, umat Islam itu harus menyesuaikan dirinya dengan budaya, pola pikir, dan tatanan hidup Barat. Itu yang mereka tuntut.

Sebelum ini berhasil, semua upaya dialog, diskusi, tukar pikiran, saling pengertian, itu semua hanya sebatas retorika belaka. Target mereka, tak lebih dan tak kurang, umat Islam harus mengikuti cara Barat. Kalau kita menggunakan pendekatan Al-Qur'an, maka itulah yang sudah disinyalir oleh Allah melalui firman-Nya (yang artinya), "Mereka tidak akan senang kepadamu, sebelum kamu mengikuti agama (millah) mereka." (Al-Baqarah: 120).

Jika ada satu dua dari orang-orang Barat yang bisa diajak bicara dan mau mengerti tentang Islam dan umatnya, itu tentu tidak mewakili filsafat hidup orang Barat secara umum.

Di dunia Islam, ketakutan pada Islam ini juga ada. Tentunya dari mereka yang sudah terlanjur cinta pada peradaban Barat. Atau, bisa jadi mereka yang sudah diasuh dan lama menyusu kepada Barat. Apa yang dinilai oleh Barat baik, dia juga katakan baik, dan sebaliknya. Sampai ke tingkat ini Barat telah berhasil mengikis kepribadian umat Islam, meruntuhkan identitasnya, dan menghancurkan rasa bangga pada jati diri dan agama mereka.

Dengan melihat kenyataan sekarang ini, nampaknya sudah banyak korban berjatuhan. Suara-suara sumbang pun semakin berseliweran. Umat pun semakin geram.

Sumber: Diadaptasi dari Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta: Akbar, Media Eka Sarana, 2002), hlm. 1-11).

Oleh: Abu Annisa
Pusat Kajian Islam
www.alislam.com

Sabtu, 26 Januari 2008

Mohammad Fauzil Adhim Hikmah "Perenungan" Air Supply

Setiap tokoh mempunyai pengalaman yang mengubah jalan hidupnya. Tak terkecuali Mohammad Fauzil Adhim. Lelaki kelahiran Mojokerto, 29 Desember 1972, yang kini dikenal sebagai penulis utamanya mengenai pernikahan dan parenting sekaligus dai muda yang cukup populer.

Walaupun berasal dari keluarga kiai, penulis yang terkenal dengan trilogi Kupinang Engkau dengan Hamdalah itu tidak serta merta menjadi seorang yang religius. ''Waktu SMA saya lebih senang bergelut dengan puisi dan teater. Saya sering menginap di sekolah, dan berambut gondrong,'' kata lelaki yang akrab dipanggil Fauzil itu kepada Republika di Bandara Changi, Singapura, Juli 2005.

Meskipun demikian, ada satu hal yang selalu berkecamuk dalam diri Fauzil remaja. ''Sejak duduk di bangku SMP Negeri Kutorejo, Mojokerto, saya sering mempertanyakan eksistensi manusia. Bagaimana akhir kehidupan ini nantinya? Ketika saya sekolah di SMA Negeri 2 Jombang, pertanyaan tersebut lebih sering lagi mengusik batin saya. Saya sering bertanya-tanya tentang keabadian,'' kata penulis yang piawai membuat judul-judul yang puitis dan romantis itu.

Suatu hari, saat menginap di sekolah, Fauzil mendengar lagu Air Supply yang berjudul Listen to Your Hart. ''Ketika itu muncul pertanyaan dalam diri saya: bagaimana bisa mendengarkan isi hati, sedangkan isi hati saja tidak tahu? Kebenaran/ketenangan itu ada di hati. Saya ingat sabda Nabi Muhammad SAW, 'Mintalah pada nuranimu','' kenang Fauzil. Tapi bait-bait Air Supply itu terngiang selalu di telinganya.

Fauzil remaja senang makan di warung. Suatu hari, sambil makan siang, ia menonton lagu John Lennon, Imagine diputar di televisi. ''John Lennon membayangkan dunia yang damai tanpa aturan, agama, dan negara. Bagaimana mungkin itu terjadi, sedangkan dengan agama saja orang masih bertengkar? Kalau mencari sendiri dengan pikiran tanpa tuntunan, ujungnya kehancuran,'' tegasnya.

Ia mulai kerap bertanya pada dirinya sendiri tentang banyak hal. Tentang teori eksistensialisme minyalnya -- Fauzil gemar melahap buku-buku filsafat. Ia berkesimpulan bahwa filsafat tersebut hanyalah kedok untuk membungkus kelemahan dan ketidakberdayaan filsufnya. ''Kalau begitu, berarti bukan ini yang dinamakan eksistensialisme,'' tegasnya.

Penerungannya membuat Fauzil sedikit limbung. Tentang dunia teater, misalnya. ''Semboyan teater adalah mengembalikan manusia pada fitrahnya. Namun, bagaimana mungkin mengembalikan manusia ke fitrahnya, kalau tidak paham apa arti fitrah itu sendiri?''

Berbagai pertanyaan itu berakumulasi dan akhirnya bermuara pada kesadaran Fauzil untuk mencari jalan hidup yang benar. Kesimpulannya, jalan hidup yang benar adalah yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya melalui Alquran dan Hadis.

Maka, sejak akhir kelas II SMA, Fauzil mencukur rambut gondrongnya. Ia yang sewaktu SMP aktif menulis resensi musik di media massa, mulai kelas II SMA rajin menulis artikel-artikel tentang pendidikan dan keluarga. Saat itu, ia juga sudah mulai memasukkan nilai-nilai keislaman ke dalam naskah cerpen dan skenario yang ditulisnya -- meskipun tidak verbal. Fauzil juga ikut bergabung dengan remaja masjid.

Kesadaran itu terus berlanjut saat ia kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ketika itu ia terus aktif menulis, baik cerpen, reportase, maupun nonfiksi. Ketika kuliah itulah, Fauzil mendapakan momentum kesadaran yang lebih tinggi lagi. Boleh dikatakan, inilah titik balik yang paling menentukan dalam kehidupannya. Suatu hari, seorang teman seangkatannya yang selama ini aktif menggerakkan kegiatan keislaman di kampus, meninggal dunia.

Dua minggu sebelum meninggal, dalam keadaan sakit teman itu datang kepada Fauzil. Ia berwasiat kepada Fauzil agar meneruskan perjuangan dakwah. Ia juga mengusulkan kepada Fauzil agar segera menikah, membina rumah tangga, dan menyiapkan generasi rabbani yang senantiasa bersandar pada nilai-nilai Islam. ''Ketika berada di pemakaman, saya merenung. Teman saya itu, saya yakin meninggal dunia dalam keadaan baik (husnul khatimahBagaimana saya nanti?'' tutur Fauzil.

Sejak itu, Fauzil makin aktif berdakwah. Baik lewat tulisan maupun ceramah. Ia kerap diundang berceramah di berbagai kampus. Bahkan, ia sempat diundang ke Singapura. a pun menikah muda, umur 24 tahun, saat masih kuliah. Istrinya, seorang wanita Bugis bernama Mariana Anas, yang kini telah memberinya empat orang anak. Oktober 2005, insya Allah akan lahir anak kelima.

Awalnya secara finansial, kehidupannya berat. Mereka tinggal di rumah kontrakan kecil yang atapnya bocor. Tidur di atas tikar bekas dan koran, serta bantal terbuat dari gulungan kain bekas. Mereka pun kerap kehabisan uang. ''Namun Alhamdulillahsemua itu dapat kami lalui dengan sabar dan berkah,'' ujarnya.

Kini, Fauzil merupakan penulis dan dai yang dijuluki "dai kosmopolitan". Menguasai bahasa Inggris, menguasai teater, mengerti tentang fotografi, desain, dan lay outbuku. Juga paham tentang perkembangan terbaru di bidang teknologi informasi. Kalau ceramah, ia sering menggunakan rekaman peristiwa, lagu, dan foto-foto tentang manusia, alam serta lingkungan yang membuat jamaah terdiam, terkesima, bahkan menangis.

Mohamamd Fauzil Adhim pun sangat piawai membuat para pendengarnya tetap memasang mata dan telinga untuk memperhatikan ceramah-ceramahnya. Kemampuannya berorasi sangat memukau. Tentu, bekal teaternya turut mendukung sukses dakwahnya. a kerap diundang sebagai penulis maupun penceramah ke berbagai kota di Indonesia, maupun manca negara, termasuk Hongkong, Singapura, Malaysia, dan Mesir.

Mantan dosen Fakultas Psikologi UII Yogyakarta itu kini hidup sepenuhnya dari menulis. Di samping itu, ia pun mengabdi sebagai guru nonakademik di SD IT Hidayatullah Yogyakarta.

( Oleh: Irwan Kelana )

http://www.republika.co.id/

Minggu, 06 Januari 2008

Kriteria Jilbab yang benar

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany

Penelitian kami terhadap ayat-ayat Al-Quran, As-Sunnah dan atsar-atsar Salaf dalam masalah yang penting ini, memberikan jawaban kepada kami bahwa jika seorang wanita keluar dari rumahnya, maka ia wajib menutup seluruh anggota badannya dan tidak menampakkan sedikitpun perhiasannya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya, maka ia harus menggunakan pakaian (jilbab) yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKAN

Syarat ini terdapat dalam firman Allah dalam surat An-Nuur : 31 berbunyi : “Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudar mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (=keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.“

Juga firman Allah dalam surat Al-Ahzab : 59 berbunyi : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin : “Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”

Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya : “Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi, kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.” Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”

Al-Qurthubi berkata : Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya : “Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”

2. BUKAN BERFUNGSI SEBAGAI PERHIASAN

Ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 31 berbunyi : “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.” Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33 : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.“

Juga berdasarkan sabda Nabi : “Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Dikeluarkan Al-Hakim 1/119 dan disepakati Adz-Dzahabi; Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad; At-Thabrani dalam Al-Kabir; Al-Baihaqi dalam As-Syuaib).

Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).

3. KAINNYA HARUS TEBAL (TIDAK TIPIS)

Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali harus tebal. Jika tipis, maka hanya akan semakin memancing fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : “Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” Di dalam hadits lain terdapat tambahan : “Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” (At-Thabrani dalam Al-Mujam As-Shaghir hal. 232; Hadits lain tersebut dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairah. Lihat Al-HAdits As-Shahihah no. 1326).

Ibnu Abdil Barr berkata : Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu
tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang. (dikutip oleh As-Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik III/103).

Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsannya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qubthiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata : Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidk melihatnya sebagai pakaian yang tipis ! Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis, namun ia mensifati (menggambarkan lekuk tubuh). (Riwayat Al-Baihaqi II/234-235; Muslim binAl-Bitthin dari Ani Shalih dari Umar).

Atsar di atas menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang mensifati dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang. Yang tipis (transparan) itu lebih parah daripada yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal). Oleh
karena itu Aisyah pernah berkata : “Yang namanya khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.”

4. HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT) SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGGAMBARKAN SESUATU DARI TUBUHNYA

Usamah bin Zaid pernah berkata : Rasulullah pernah memberiku baju Quthbiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku : “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Quthbiyah ?” Aku menjawab : Aku pakaiakan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda : “Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Quthbiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (Ad-Dhiya Al-Maqdisi dalam Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441; Ahmad dan Al-Baihaqi dengan sanad Hasan). Aisyah pernah berkata : Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya. (Ibnu Sad VIII/71).

Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah (mantel). (Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf II:26/1).

Ini semua juga menguatkan pendapat yang kami pegangi mengenai wajibnya menyatukan antara khimar dan jilbab bagi kaum wanita jika keluar rumah.

5. TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUM

Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata : Rasulullah bersabda : “Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (An-Nasai II/283; Abu Daud II/192; At-Tirmidzi IV/17; Ahmad IV/100, Ibnu Khuzaimah III/91; Ibnu Hibban 1474; Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda : “Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanah
dalam kedua kitab Shahih-nya; Ash-Shabus Sunan dn lainnya).

Dari Abu Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah bersabda : “Siapapun wanita yang memakai bakhur (wewangian yang berasal dari pengasapan), maka janganlah ia menyertai kami dalam menunaikan shalat Isya yang akhir.” (ibid)

Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah : Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata : Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi III/133; Al-Mundziri III/94).

Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata : Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki (Al-Munawi dalam Fidhul Qadhir dalam mensyarahkan hadits dari Abu Hurairah).

Saya (Al-Albany) katakan : Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu
jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Al-Haitsami dalam kitab AZ-Zawajir II/37 menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dn berhias adalah termasuk perbuatan kabair (dosa besar) meskipun suaminya mengizinkan.

6. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKI

Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyrupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya.

Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria (Abu Daud II/182; Ibnu Majah I/588; Ahmad II/325; Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Dari Abdullah bin Amru yang berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda : “Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200; Abu Nuaim dalam Al-Hilyah III/321)

Dari Ibnu Abbas yang berkata : Nabi melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda : “Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.” Dalam lafadz lain : “Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274; Abu Daud II/182,305; Ad-Darimy II/280-281; Ahmad no. 1982,2066,2123,2263,3391,3060,3151 dan 4358; At-Tirmidzi IV/16-17; Ibnu Majah V/189; At-Thayalisi no. 2679).

Dari Abdullah bin Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : “Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang
bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” (An-Nasai !/357; Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi; Al-Baihaqi X/226 dan Ahmad II/182).

Dalam haits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya.

Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.

7. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA-WANITA KAFIR

Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya : Firman Allah surat Al-Hadid : 16, berbunyi : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-Iqtidha hal. 43 : Firman Allah “Janganlah mereka seperti…” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini (IV/310) berkata : Karena itu Allah melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang.

Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) : “Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” Ibnu Katsir I/148 berkata : Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek. Jika mereka ingin mengatakan “Dengarlah kami” mereka mengatakan “Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinya
ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46.

Allah telah memberi tahukan (dalm surat Al-Mujadalah : 22) bahwa tidak ada seorang mumin yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mumin, sedangkan tindakan
menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan

8. BUKAN PAKAIAN UNTUK MENCARI POPULARITAS (PAKAIAN KEBESARAN)

Berdasarkan hadits Ibnu Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : “Barangsiapa mengenakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya
dengan api neraka.” (Abu Daud II/172; Ibnu Majah II/278-279).

Libas Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya,
maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya (Asy-Syaukani dalam Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir berkata : “Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu.
Maksud dari Libas Syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.”

Kesimpulannya adalah :
Hendaklah menutup seluruh badannya, kecuali wajah dan dua telapak dengan perincian sebagaimana yang telah dikemukakan, jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum, tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas.

Dikutip dari Kitab Jilbab Al-Marah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah (Syaikh Al-Albany)