Selasa, 18 Maret 2008

Moh. Natsir "Politik Melalui Jalur Dakwah"

Oleh Agus Basri



Sebagai Da'i, Mohammad Natsir seorang yang santun bertutur kata. Maka tidak heran, ketika asas Tunggal dipaksakan rezim Soeharto, Ketua DDII ini menulis Himbauan berjudul "Dengariah Suara Kami," Adapun sebagai Politisi, ia lihai berdebat Dalam sebuah tulisannya, Bung Karno menyatakan: "Zaman modern sudah ada detergen, maka tidak perlu kita mencuci bekas jilatan anjing menggunakan tanah dan menggosoknya hingga tujuh kali." Muhammad Natsir, cerdas membalas sebagai jawaban atas retorika Bung Karno. "Jika dengan alasan sudah ada sabun detergen lalu tidak perlu pakai tanah bersihkan bekas jilatan anjing. Sekarang sudah ada bedak, apakah bedak boleh digunakan untuk bertayamum menggantikan debu?"


BEGITULAH Natsir, tokoh penting dalam masa-masa penentuan Negara Indonesia: berbentuk Federal atau Negara Kesatuan ini terus disisihkan ke tepian. Perdana Menteri pertama NKRI ini, setelah mengingatkan Presiden Soekarno agar kembali ke UUD '45 dengan mendirikan PRRI, kian ciut dan dipinggirkan. Juga dilupakan. Namun justru di situlah 'musuh' Soekarno dalam perdebatan (polemik) di media masa pada masa-masa perjuangan dan 'sahabat' di awal kemerdekaan, ini meraih masa kematangannya, menjadi seorang negarawan sejati, ulama kenamaan yang dipercaya menjadi Ketua Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Sedunia) dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Pasca kematian mantan presiden RIII, Jenderal Soeharto, 27 Januari 2008, para kroninya ramai-ramai mengusulkan Soeharto agar diberi gelar Pahlawan Nasional. Namun tokoh yang satu ini, Mohammad Natsir, sekalipun jasanya begitu besar bagi republik ini, hingga sekarang gelar Pahlawan Nasional seakan kian menjauh darinya.

Inilah hasil wawancara belasan kali, yang dilakukan Agus Basri di kantor DDII Jalan Kramat Raya, di dalam mobil sepanjang perjalanannya menuju ke kediaman, dan di rumahnya yang amat sederhana, dengan warna hijau muda yang sudah kusam pula, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, tak lama berselang beberapa waktu sebelum Bapak M. Natsir menghadap ke haribaan Allah Swt tahun 1993. Berikut penuturannya yang panjang, hasil perolehan yang coba disuguhkan dalam bentuk penuturan sebagai orang pertama, saya, yang bertutur bercerita: sesuai dengan perjanjian, dan tulisan ini sebelumnya terlebih dulu juga telah dibaca oleh M. Natsir - yang juga bekas wartawan, kolomnis handal, yang sedari muda mahir berbahasa Inggris, Arab, Belanda, Francis, dan Latin.

Dakwah bil Hal
Pada tanggal 17 Mi 1908, saya dilahirkan dari pasangan suami-istri Idris Sutan Saripado - Khadijah di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Saya dibesarkan di tengah-tengah keluarga Muslim yang taat. Ayah saya, seorang juru tulis kontrolir, banyak mendorong saya agar mendalami agama. Kebetulan, pada waktu itu letak rumah kami berdekatan dengan masjid.
Demikianlah, sejak kecil mengaji jadi makanan saya sehari-hari. Sejak di HIS (Hollandsch Inlandsche School) saya sudah mengaji di surau. Menginjak kelas dua, saya tinggal di rumah seorang saudagar, Haji Musa namanya, di Solok. Selepas maghrib, malam hari saya mengaji. Mencari guru, tempat saya untuk berdialog. Kebetulan waktu itu ada guru mengaji tamatan sekolah di Sumatera Thawalib.

Dorongan untuk belajar agama orangtua begitu kuat. Pagi saya sekolah umum, sore masuk madrasah diniyyah, dengan belajar bahasa Arab, dan malam hari mengaji. Di situ, guru-gurunya sangat aktif berdakwah. Melihat saya bersungguh-sungguh, guru itu tertarik. Lalu, saya diberikan pelajaran ekstra. Lama-lama sayabisa mengaji kitab kuning, sementara teman-teman lain belum bisa membacanya.

Waktu itu, seorang meester in de rechten adalah seorang yang luar biasa. Jadi, cita-cita saya menjadi Meester -sekarang disebut sarjana hukum. Sampai di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), semuanya saya lalui dengan nilai baik. Malah dapat beasiswa dua puluh rupiah sebulan. Bisa beli buku dan keperluan lain.

Padahal saya sekolah sambil cari kayu bakar, memasak, membuat sambal, dan mencuci pakaian sendiri. Masih sempat pula ikut pandu Natipij (Nationale Islamitische Padvindrij) dari organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Akhirnya, saya lolos dan masuk AMS (Algemeene Middelbare School) di bandung, juga dengan mendapatkan beasiswa sebesar tiga puluh rupiah sebulan. Di Bandung itulah pikiran saya berubah. Ternyata yang bagus itu tak cuma meester.

AMS (A-II), bahasa Belanda saya tidak fasih. Saya sering diejek. Soalnya, waktu sekolah di Padang, yang dipakai sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia. Sedangkan di Bandung, saya bertemu dengan anak-anak dari Jawa yang kemampuan bahasa Belandanya jauh lebih tinggi. Saya kebingungan juga. Makanya saya belajar sungguh-sungguh. Saya dapat angka tinggi untuk bahasa Latin yang begitu sulit.

Di Bandung, sejak kelas satu, saya tetap belajar agama tanpa mengurangi ketekunan belajar di sekolah. Malah saya sempat jadi anggota perpustakaan museum dengan membayar iuran tiga rupiah sebulan. Saya selalu dikirimibuku-buku baru dari perpustakaan itu. Membaca jadi tabiat saya waktu di Bandung.

Ada tiga guru yang mempengaruhi alam pikiran saya. Pertama, Tuan Hassan - Pimpinan Persis (Persatuan Islam) Bandung - Haji Agus Salim, dan Syekh Ahmad Soerkati - pendiri Al Irsyad. Kalau ke rumah Tuan Hassan, saya selalu menanyakan sesuatu persoalan, lalu kami berdiskusi. Dari situ, saya diberi sejumlah buku, seperti Tafsir Al-Furqon dan Tafsir The Holy Qur'an karya Muhammad AH.

Saya juga aktif di JIB Cabang Bandung. Di situ saya belajar politik, mengetahui bagaimana perjuangan kita, mengenal Prawoto Mangkusasmito, Haji Agus Salim, dan lain-lain. Budi Utomo yang berdiri tahun 1908, PSI (Partai Syarikat Islam) - sebelum akhirnya menjadi PSII, dan Muhammadiyah pada 1912, saya ikuti. Saya mulai terlibat dalam gerakan Islam di bidang politik.

Setelah tamat AMS, sebetulnya saya mendapat beasiswa untuk kuliah di Fakultas Hukum, tapi saya memilih tidak melanjutkan kuliah. Saya lebih tertarik melihat persoalan-persoalan masyarakat, persoalan politik. Politik oposisi di mata saya waktu itu sebagai orang jajahan sangat mengesankan. Persoalan masyarakat yang saya hadapi lebih menarik. Saya merasa berdosa kalau itu saya tinggalkan. Waktu saya mengambil keputusan untuk tidak kuliah, banyak juga yang terkejut. Tuan Hassan sendiri, yang dekat dengan saya, kaget.

Persoalannya tinggal bagaimana menjelaskan kepada orangtua. Waktu saya pakansi terakhir setamat AMS, saya temui Ibu dan Bapak. Saya katakan terus terang bahwa saya tidak tertarik lagi jadi meester. Saya mau terjun mendirikan sekolah saja. Takut juga saya kalau-kalau orangtua jadi kecil hatinya. Ternyata mereka tertarik juga dengan gagasan saya. Umi, ibu saya, setuju. Bapak saya juga setuju. Jadi, itu saya anggap sebagai karunia Ilahi. Sebab, kalau beliau-beliau mengerenyut, ya, saya merasa salah juga 'kan.

Saya mulai mengajar di sebuah sekolah MULO. Salah seorang muridnya adalah Dahlan Djambek, yang belakangan terlibat dalam PRRI. Saya mengajar karena terdorong untuk mengajarkan agama. Tak diberi gaji apa-apa. Saya juga mengajar di kursus pegawai kereta api. Bentuk pengajarannya sistem diskusi. Ketika saya lihat sekolah-sekolah kita sama sekali tidak diisi dengan pengajaran agama, saya berniat membentuk pendidikan modern yang sejalan dengan pendidikan agama. Kemudian saya mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis).

Dengan gaya Muhammadiyah, sekolah saya itu tidak banyak berbeda. Cuma, kami lebih praktis. Misalnya, waktu itu, kami memelopori melakukan sholat Jum'at di sekolah. Juga mengajarkan kesenian untuk menghaluskan perasaan. Islam kan tidak melarang kesenian, termasuk tonil. Saya yang mengajar main biola. Tapi, ya, tidak gila-gilaan. Yang mengajar seperti Indracahya, mahasiswa THS (Technische Hooege School, sekarang menjadi ITB), dan Umi Nur Nahar yang tadinya mengajar di sekolah swasta, punya motivasi perjuangan. Saya kenal dengan Umi di JIB. Tadi, ya, kenal begitu saja... .Belakangan dia jadi istri saya

Berat juga ternyata bergelut di dunia pendidikan. Beberapa kali Umi mencopot gelangnya untuk digadaikan, demi eksistensi Pendis. Sampai sekarang gelang itu masih disimpan baik-baik.

Syahdan, pada suatu ketika, kami mendapat satu hektar tanah dari seorang kaya. Tanah itu kami manfaatkan untuk mengajar anak-anak berpraktek bagaimana bercocok tanam. Mereka memang tidak akan tinggi ilmunya, tapi di bawa terjun ke masyarakat, biar tahu bagaimana petani bekerja. Biar tahu bagaimana sulitnya petani menumbuhkan suatu barang yang bisa dijual ke pasar. Biar tahu berapa harganya. Itu kan persoalan hidup. Jadi, bukan dibaca di buku, melainkan di baca di masyarakat.

Anehnya, setelah siswa-siswa itu tamat, mereka pun mengembangkan pendidikan semacam itu di berbagai daerah, sehingga Pendis berkembang di Bogor, Cirebon, dan bahkan sampai di Banjarmasin. Mereka juga tidak mau bekerja pada pemerintah, melainkan memilih terjun ke masyarakat saja. Apakah doktrinnya begitu? Tidak didoktrinkan... .Hanya dibawa ke arah berpikir demikian. Itu namanya dakwah bil hal.

Diisap Politik

Saya tertarik pada pidato Bung Karno, tapi tidak setuju seratus persen. Lalu saya menanggapinya dengan menulis. Bung Karno dulu kan suka mengejek-ejek Islam. Pada 1930 saya diminta Pak Sabirin, Ketua PSI Cabang Bandung, supaya jadi anggota PSI sebelum organisasi Islam ini berubah menjadi PSII. Sejak itu saya berkecimpung dalam politik. Apalagi saya lihat, waktu itu, PNI begitu kuat. Makanya saya perlu memperkuat diri di PSI. Tekanan saya waktu itu masih mengarah pada penulisan di Majalah Bulanan Pembela Islam yang tersebar ke seluruh Indonesia, ke pesantren-pesantren dan dibaca oleh para ulama. Oplagnya mencapai 2.000 (dua ribu) eksemplar. Pada waktu itu, untuk majalah bulanan, oplag itu sudah banyak.

Ketika Jepang datang, saya sempat bekerja di Bandoeng Siicho, menjadi pegawai pemerintah daerah Jepang, bagian Pendidikan dan Pengajaran. Lalu Jepang merasa perlu merangkul Islam. Maka dibentuklah MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) di Jakarta, yang kemudian diberi nama Masyumi, dan semula itu bukan merupakan organisasi politik. Dulu kan partai-partai tidak ada. Padahal orang Islam mesti dikumpulkan. Paling enak sebagai wadah untuk itu adalah Majelis Islam, kendati tidak berurat seperti organisasi formal. Beberapa kiai dan pemimpin kita kumpulkan. Mereka menyampaikan informasi ke bawah, dan kita dapat informasi.

Menjelang kemerdekaan, saya ikut PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), kendati tidak begitu aktif. Yah, itu kan urusan orang-orang besar, dan lagi waktu itu saya masih muda. Saya sudah bolak-balik Jakarta-Bandung, karena saya sekretaris STI (Sekolah Tinggi Islam) - kemudian jadi IAIN dan kini UIN - yang dipimpin oleh Bung Hatta. Walaupun masih muda, karena termasuk salah seorang inti di JIB, saya sudah bergaul dengan Bung Hatta, Haji Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, dan Yusuf Wibisono dalam organisasi tersebut. Di situ kewajiban saya bukan lagi mengurusi masalah-masalah sosial dan pendidikan, melainkan politik. Tidak bisa melepaskan diri dari politik.Saya sudah diisap oleh politik.

Belakangan, saya jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kebetulan? Ha ha ha... .Ya, itu suatu kebetulan. Suatu ketika, di Gedung Komidi di Pasar Baru -sekarang Gedung Kesenian Jakarta -diadakan rapat Cuo Sangi In. Waktu itu saya menginap di rumah Kahar Muzakkir di Jalan Teuku Umar, Menteng. Kahar Muzakkir mengajak saya jalan-jalan ke Pasar Baru untuk menghadiri sidang KNIP, padahal saya bukan anggota KNIP. Ketika sampai di depan Gedung Komidi, saya mau menunggu saja di luar, tapi Pak Kahar Muzakkir mendorong-dorong saya agar ikut masuk. Katanya pada penjaga pintu, "Ini Saudara Muhammad Natsir..”

Demikianlah, nama saya pun ditulis oleh penjaga pintu itu dalam daftar hadir. Sejak itulah, saya jadi anggota KNIP. Ha ha ha.... Dulu caranya memang tidak pakai formalitas-formalitasan. Bung Karno sendiri, waktu itu, mengangkat anggota KNIP hanya berdasarkan ingatannya aja. Si Fulan, si Fulan, dan si Fulan. Be gitu....

Pada 30 Oktober 1945, KNIP meningkatkan diri dari Badan Pembantu Presiden menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam rapat pada tanggal 25 Nopember, diumumkan jumlah anggota KNIP mencapai 232 orang. Rapat itu kemudian memutuskan membentuk Badan Pekerja, dan nama-nama Dr.Sarwono, Muhammad Natsir, serta Sudarsono diminta menyusun anggota BP sejumlah 25 orang. Saya diminta jadi ketua panitianya. Ketika pada 3 Januari 1946 saya ditunjuk menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet RI yang pertama. Dengan demikian, saya berhenti dari keanggotaan KNIP.

Waktu itu di Jakarta ada tiga kekuasaan: kekuasaan Belanda - yang mau masuk, tapi secara formal kekuasaan masih di tangan sekutu, lalu kekuasaan sekutu, dan RI. Ketiga lembaga ini bersama-sama menggunakan corong radio yang sama seminggu sekali, untuk berbicara tentang Republik Indonesia. Yang menguasai radio sebenarnya, ya, Sekutu. Kita diberi kesempatan untuk itu. Belanda juga diberi kesempatan. Umpama kita sekarang bicara, esoknya dibantah Belanda di radio itu pula. Lucu juga, ya, ha ha ha....

Sekutu tidak bisa meninggalkan Indonesia, sebab diwajibkan mengeluarkan orang-orang Jepang. Mereka tidak bisa mengeluarkan orang Jepang kalau tidak dibantu oleh RI. Karena orang-orang Jepang itu ada di pedalaman. Mereka kemudian minta kepada Republik Indonesia supaya membantu. Supaya mereka lekas pergi. Kita juga berusaha supaya Jepang keluar. Kalau Jepang keluar, kita tinggal menghadapi Belanda saja...

Dalam pertemuan KNIP dengan Kabinet - yairu kabinet presidensial -diputuskan supaya dibentuk kabinet parlementer. Maka dipanggillah Sutan Sjahrir untuk membentuk kabinet baru, kabinet parlementer. Saya belum jadi menteri waktu itu, melainkan cuma anggota BKNIP. Bersama-sama dengan kabinet, kami menghadapi berbagai persoalan. Dalam bekerja, kami sepakat membagi-bagi pekerjaan. Sebagai anggota BKNIP, sebenarnya kami tidak usah turut mencampuri urusan lembaga eksekutif, tapi ketika itu batas eksekutif dan legislatif belum begitu jelas.

Kita harus memikirkan kekuatan kita di luar negeri. Kalau di dalam negeri ada tiga kekuatan (RI, Belanda, dan Sekutu), kita mesti memikirkan cara mengusir Belanda dengan bantuan kekuatan luar negeri. Ini politis. Oleh karena, itu penting sekali. Satu-satunnya hubungan ke luar negeri yang tepat, waktu itu, adalah dengan menggunakan radio. Dan radio yang masih dalam kekuasaan kita, ketika itu, ada juga; yaitu radio yang di Bandung.

Malam-malam, lewat pukul 21.00 sesudah rapat, kami telepon ke Bandung memberitahukan apa saja yang perlu kita siarkan. Bandung pun rnenyiarkan ke luar negeri, dan luar negeri, terutama radio India, menyambut. Dengan demikian, keesokan harinya sudah tersiar apa yang kita bicarakan semalam. Pada tahun 1945 itu, saya, walaupun belum jadi menteri, sudah melakukan pekerjaan sebagai Menteri Penerangan. Ha ha ha.... Jadi, apa saja yang dapat kita kerjakan, ya, kita kerjakan saja; begitu....

Saya jadi anggota KNIP pada September 1945, lalu pada Januari 1946 jadi Menteri Penerangan.. Itu kan waktu yang sangat singkat. Apa saja yang dilakukan selama tempo enam bulan itu sebagai Menteri Penerangan tidak formal? Membina hubungan dengan luar negeri. Umpamanya, ada kabar dari mahasiswa kita di Baghdad bahwa mereka memerlukan majalah. Lalu diterbitkanlah Majalah Bulanan Merdeka di Baghdad, untuk memperkenalkan Indonesia kepada dunia luar. Itu salah satu usaha pusat penerangan kita pada waktu itu. Pemimpin Redaksinya Imron Rosyadi, yang kemudian jadi anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI. Jadi saya lebih dulu dari orang-orang NU dalam berhubungan dengan Imron Rosyadi.

Waktu saya jadi anggota KNIP, kantornya terletak di lantai paling atas; sedangkan lantai II dipakai untuk kantor Penerangan. Yang jadi menterinya waktu itu AH Sastroamidjojo dari PNI. Karena saya sudah tahu apa yang dikerjakan oleh seorang menteri penerangan, Sjahrir, sewaktu menjadi Perdana Menteri, meminta saya menjadi Menteri Penerangan.

Ketika saya jadi Menteri Penerangan yang pertama - saya jadi Menpen tiga kali — ada satu meja besar di kamar. Di situlah saya duduk sebagai Menteri Penerangan selama beberapa hari, sebelum kabinet pindah ke Yogya. Di Yogyalah, kami mulai membentuk Kementerian Penerangan yang serius. Kantornya itu, Iho, dekat Kali Code.

Perihal sempat jadi orang kepercayaan Bung Karno, itu ada ceritanya. Begini: dimulai ketika Sjahrir mengajukan usul kepada Bung Karno agar saya jadi Menteri Penerangan. "Hij is de man (dialah orangnya)," kata Bung Karno kepada Sjahrir. Saya belum bertemu dengan beliau waktu itu. Lantas, waktu bertemu di Yogya, kami lebih baik menghadapi yang ada, dan rnelepaskan apa yang telah terjadi, karena kita sedang menghadapi perjuangan yang besar. "Bagaimana kita ini, kita dulu kan cekcok," kata Bung Karno. "Ya," jawab saya agak bercanda. "Sekarang tidak usah, nanti saja kita ulangi." Jadi, hubungan kami kemudian memang dekat.

Selama saya jadi Menteri Penerangan, semua pidato 17 Agustus saya yang bikin. Statement-statement yang penting dibuat oleh Bung Hatta, dan Bung Karno yang menandatangani; dan saya selalu dilibatkan. Pokoknya, kami bertiga sama-samalah. Sebagai Menteri Penerangan, saya haras tahu isinya.

Di situ saya kadang membuat amandemen sedikit, tapi tidak mendasar. Statement yang penting-penting, entah tentang Uni Indonesia-Belanda dan segala macam, saya selalu dibawa, diajak bicara. Sebab, fungsi Menteri Penerangan memang itu. Dialah yang akan menjual itu roti ke masyarakat. Dia harus tahu apa itu isinya, basi atau tidak.

Kendati demikian, tidak bisa dikatakan bahwa sayalah yang mengendalikan mereka. Semua yang penting-penting diputuskan oleh Bung Hatta. Bung Karno tidak mau mengeluarkan sesuatu pernyataan kalau Bung Hatta belum setuju. Misalnya, dalam menghadapi persoalan yang keras, seperti pemberontakan PKI, Madiun Affair dan affair yang lain, itu Bung Hatta yang maju untuk menentukan politiknya.

Kita berkumpul sebagai kabinet, karena dulu kabinet parlementer. Perdana Menteri bisa mengerjakan dan bertanggungjawab. Hanya saja, dalam prakteknya Dwitunggal Soekarno-Hatta itu tidak kita tinggalkan. Jadi, ada kerjasama antara perdana menteri dan Dwitunggal.

Tentang Kartosuwiryo

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda akan menyerahkan pemerintahkan Indonesia kepada RI, kecuali Irian Barat (sekarang Papua). Lama kita berunding, Soekarno, Hatta, dan lain-lain menerima, tapi dua orang tidak, yakni Agus Salim dan saya. Kalau soal Irian Barat tidak diputuskan, itu akan jadi soal yang akan mengacaukan dan menimbulkankesulitan terus-menerus. Tapi kami berdua kalah suara.

Sesudah kembali dari Bangka ke Yogya, saya katakan kepada Bung Hatta, berat buat saya untuk jadi Menteri Penerangan lagi. Sebab, Menteri Penerangan harus menjelaskan pada rakyat kenapa Irian Barat ditinggalkan. Saya minta mundur - ini jabatan menteri yang ketiga kalinya saya pegang. "Saya mengerti," kata Bung Karno. Tapi Bung Karno bilang, "Tidak bisa Natsir berhenti. Lebih baik sepuluh (10) menteri berhenti daripada satu (1) orang Natsir." Itulah cara Bung Karno membujuk supaya saya jangan mundur.

Kemudian saya disuruh pergi ke mana-mana. Ke Pasundan, misalnya, untuk merapatkan hubungan kita dengan Negara Pasundan. Saya, yang sudah 17 tahun bermukim di Bandung, menghubungi Kartosuwiryo, karena saya telah dianggap orang Bandung. Kartosuwiryo, salah seorang murid H.O.S.Cokroaminoto yang kemudian mernimpin Darul Islam, sudah saya kenal waktu saya masih sekolah di Bandung. Waktu itu saya masih belajar pada Tuan A.Hassan, dan Kartosuwiryo pun, dari Garut, pulang-balik menemui Tuan Hassan. Tapi saya lebih dekat pada Tuan Hassan. Kadang-kadang kami - saya, Tuan Hassan, dan Kartosuwiryo - saling bertemu di sana.

Kontak dengan Negara Pasundan itu tetap saya kerjakan, walaupun bukan sebagai Menteri Penerangan lagi. Saya pergi dengan Sultan Hamengku Buwono IX atas permintaan Bung Hatta. Hamengku Buwono berunding dengan para menteri Pasundan, saya dengan masyarakatnya, termasuk dengan Kartosuwiryo. Waktu itu, sebenarnya saya sudah memusatkan pikiran pada pembangunan Partai Masyumi. Ketika DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) diproklamasikan, kebetulan saya sedang berada di Hotel Homan, Bandung. Saya sudah bertemu dengan Tuan Hassan, dan kemudian Tuan Hassanlah yang membawa tulisan tangan saya kepada Kartosuwiryo.

Surat itu sampai di tangan Kartosuwiryo tiga hari kemudian, pas ketika DI/TII diproklamasikan. Yah, terlambat. Itu namanya takdir Tuhan. Kenapa terlambat? Kartosuwiryo itu memang dijaga betul. Tidak sembarang orang boleh menemuinya. Orang-orangnya, para penjaganya, baru mengenal Tuan Hassan sesudah beliau memperkenalkan diri, "Saya Hassan, Hassan Bandung," - itu setelah tiga hari menunggu. Kalaupun tidak terlambat, tidak mudah meyakinkan Kartosuwiryo. Bagi dia, yang berat menjilat ludah kembali. Itu kan sulit.

Saya bertemu dengan organisasi, dengan para pemimpinnya, di Bandung. Mereka bilang, kalau Kartosuwiryo sudah terima, mereka tunduk. Tidak banyak cerita. Namun, Kartosuwiryo tidak memberi perintah untuk menyerah.

Hubungan kami dengan Kartosuwiryo pada masa sebelumnya rapat sekali. Bung Hatta juga selalu berhubungan dengannya. Soalnya, persetujuan Renville telah mengusir TNI "hijrah" dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Orang-orang Jawa Barat merasa ditinggalkan dalam perjuangan. Maka, Kartosuwiryo pun tampil untuk mempertahankan Jawa Barat. Waktu itu, Kartosuwiryo pulang balik ke Yogyakarta dan langsung menemui Bung Hatta. Bung Hatta memberi bantuan supaya Kartosuwiryo bisa sedikit mendinginkan orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan oleh Republik. Secara tidak resmi Bung Hatta membantu kalau Kartosuwiryo ke Yogya minta begroting (anggaran), bantuan makanan, atau keperluan sosial buat orang-orang yang di hutan.

Bung Hatta sedih melihat hasil persetujuan Renville yang menyebabkan Jawa Barat ditinggalkan oleh TNI. Itu kan gara-gara Perdana Menteri Amir Syarifuddin, yang tanpa pikir panjang memberi Jawa Barat begitu saja kepada Belanda. Bung Hatta sendiri sebenarnya tidak setuju, tapi karena kabinet bukan kabinet presidensial lagi, ya, apa boleh buat.

Jadi, begitulah peranan saya dalam membantu menyelesaikan kasus Darul Islam. Ya, tidak berhasil. Sesudah kegagalan itu, hubungan masih tetap berjalan terus dengan baik. Belakangan, sesudah kabinet saya jatuh, Dokter Sukiman yang pegang kabinet. Dan sejak itu Kartosuwiryo bilang, "Dari sekarang, tidak ada hubungan lagi dengan RI."

Setelah tidak menjabat menteri penerangan, saya aktif di Masyumi. Waktu di parlemen, tatkala KMB yang mengakui 15 negara bagian telah disepakati, saya menjabat Ketua Fraksi masyumi. Salah satu negara bagian yang diakui adalah negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogya.

Mulanya saya diminta oleh Bung Hatta pergi ke Yogya untuk rnenjadi Perdana Menteri. Saya tidak mau. Biarlah orang Yogya saja, kata saya. Saya sudah terikat di Jakarta, di Partai Masyumi. Masyumi sebagai alat perjuangan, saya anggap lebih penting daripada suatu Negara Bagian.

Menyelamatkan Republik

FAKTA memang berbicarai Bahwa Yogyakarta, sesudah KMB, menjadi Negara Bagian. Tapi kami tetap bertekad mengembalikan RI seperti sedia kala. Saya berbicara dengan fraksi-fraksi, seperti Kasimo dari Partai Katolik, Tambunan dari Partai Kristen, dan sebagainya. Dari situ saya mendapat kesimpulan bahwa mereka, negara-negara bagian itu, mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri.

Sepanjang dua setengah bulan saya melakukan lobby. Tidak mudah. Terlebih dengan Negara-negara bagian di luar Jawa. Umpamanya dengan Negara Bagian di Sumatera dan Madura. Setelah semua selesai, saya adakan "mosi integral" yang kabur-kabur, begitulah, ha ha ha.... Kabur, sebab kita tengah menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu ke mana perginya rencana itu.. Sesudah itu saya perlu datang ke Yogya, yang ternyata tidak mau membubarkan diri. Lantas saya katakan bahwa kita punya program menyatukan kembali semuanya. Kita bayar semua ini dengan sama-sama membubarkan diri. Walaupun beberapa pemimpin sudah setuju, masyarakatnya belum mau; karena harga diri mereka tersinggung. Sampai pukul tiga dinihari kami membicarakan soal itu dengan sejumlah jurnalis, orang-orang penting, dan para pemimpin di Yogya. Ada yang bilang, "Kalau kita memulihkan keadaan dengan cara membubarkan diri, apa tidak sulit nanti? Akan hilang negara kita." Wah, itu masuk akal juga.

Lantas saya katakan, kita punya program, yakni program mempersatukan kembali. Ada dua alternatif untuk melaksanakannya. Pertama, kita berperang dulu dengan semuanya, dengan Negara Pasundan, Negara Madura dan lain-lain. Mereka semua akan kalah, dan kita menjadi satu. Alternatif kedua, kita tidak perlu berperang. Kita ajak mereka membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu. Nah, kita, Negara Yogya ini punya Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mereka tidak.

Saya katakan lagi, "Dalam sejarah jangan kita lupakan faktor pribadi. Mutu pribadi orang itu menunjukkan "siapa itu" Soekarno-Hatta. Tidak akan ada yang bisa mengatakan "tidak" kalau kita majukan nama Soekarno-Hatta untuk menjadi Presiden dan Wakil Presdien RI. Sedangkan kita, para pemimpin ini, diam sajalah mengikuti. Kalau diperlukan, ya, dipakai; dan kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya, tidak ada satu pun dari Negara-negara Bagian itu yang akan menolak Soekarno-Hatta menjadi pemimpin. Di sinilah fungsi Soekarno-Hatta untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali.

Setelah "mosi integral" berhasil, saya dipercaya jadi Perdana Menteri, satu hal yang semula tidak saya pikirkan. Saya juga heran. Asa Bafagih, wartawan Harian Merdeka, bertanya pada Soekarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri. Kata Soekarno, "Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi. Mereka punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi."

Akan tetapi, seperti yang terlihat dengan sangat jelas, ternyata menyusun kabinet itu tidak mudah. Tawar-menawarnya susah sekali. Yang paling sulit adalah mendapatkan persesuaian dengan PNI, Sampai-sampai saya mau kembalikan itu mandat pada presiden. Akhirnya kabinet bisa tersusun, tanpa PNI - ini atas persetujuan Bung Karno.

Begitu pun, perlu saya katakan, sewaktu jadi Perdana Menteri, banyak sekali persoalan yang harus dihadapi. Misalnya, menyelesaikan senjata yang ada di tangan para sukarelawan dari berbagai ideologi. Tadinya mereka memiliki senjata itu secara legal, karena sama-sama berjuang mempertahankan Republik. Mereka adalah salah satu unsur perjuangan. Sesudah kita merdeka, praktis mereka prei.

Laskar Hizbullah, umpamanya, setelah kemerdekaan kembali ke pesantren dengan inisiatif sendiri. Mereka punya pesantren. Bagi mereka, pesantren lebih penting daripada duduk-duduk pakai seragam. Bagi mereka, ya, buat apa lagi. Belanda sudah lari. Mereka menganggap tugas sudah selesai. Padahal dari kacamata politik, barisan mereka itu adalah suatu kekuatan. Mestinya jangan dilepaskan begitu saja. Tapi, ya, itulah. Mereka kan terdiri atas para santri dan kiai yang umumnya cuma punya "prasangka baik". Bahkan husnu dzon (prasangka baik) itu terlampau berlebihan, sehingga kekuatan yang ada di tangan -secara politis - dilepaskan begitu saja.

Saya waktu itu membuat pengumuman: "Mari kita kembali ke Republik". Pengumuman itu ditujukan kepada kaum Darul Islam, orang-orang PKI, juga kepada gerombongan MMC (Merapi Merbabu Complex). Di Sumatera Utara juga ada Laskar Harimau Liar. Mereka sama saja, yakni gerilyawan yang turut berperang. Nah, marilah kembali. Bacalah maklumat saya itu. Ternyata, pelaksanaannya tidak seperti yang diinginkan. Sebab hal tersebut berkenaan dengan good will TNI - tentara resmi Republik Indonesia - untuk menerima mereka kembali dan menerima senjata mereka sebagai teman seperjuangan.

Begitulah....Karena senjata mereka diambil begitu saja, maka timbullah bentrokan-bentrokan. Itu antara lain terjadi di Indramayu dan Tegal, seperti juga yang dialami oleh Amir Fatah, salah seorang pimpinan Darul Islam.. Jadi, ada yang ditangkap dan dibawa ke Bandung. Padahal, maksud kita tidak begitu. Bukan untuk ditangkapi. Melainkan menciptakan persatuan. Yang saya inginkan adalah agar mereka kembali ke pangkuan Republik. Mereka bisa dimasukkan ke dalam tentara, jadi polisi, lurah, masyarakat sipil. Kalau mau jadi tentara, ya, tentara Republik Indonesia. Bukan tentara Darul Islam. Jadi, pelaksanaan maklumat itu gagal. Ini belum disadari betul oleh tentara Republik yang resmi. Mungkin politik ini terlampau tinggi untuk dipahami oleh serdadu-serdadu itu.

Memang kemudian ada pengumuman tentang "pengurangan kekuatan angkatan bersenjata". Soalnya, tentara terlampau banyak. Jadi kita ini tidak ada fulus untuk menggaji mereka semua. Kenapa mengundang mereka agar bergabung ke dalam tentara Republik, kalau tidak ada biaya? lya - lah, untuk tahap pertama mereka bergabunglah dulu. Nanti, kita adakan seleksi.

Dengan demikian, program itu tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Pelaksanaannya satu demi satu. Andaikan saya diberi waktu enam bulan untuk mengadakan suatu pendekatan step by step, saya rasa akan berhasil. Tampaknya, waktu itu keadaan tidak mengizinkan. Kelemahan kebijaksanaan itu adalah karena tidak dipahami oleh orang, oleh tentara. Juga karena mereka yang tadinya berperang; kurang diberi waktu untuk menyadari.

Adapun tentang tuntutan otonomi Aceh, saya sudah jelaskan kepada Tengku Daud Beureue-eh, tokoh ulama dan pejuang yang disegani di Tanah Rencong. Tuntutan otonomi sebagai propinsi tersendiri masih perlu dibicarakan di Pusat. Sedangkan Aceh tetap pada tuntutannya. Makanya saya katakan lebih baik saya mengundurkan diri.

Sebenarnya, ada dua alternatif. Pertama, Pemerintah Pusat terpaksa melakukan tindakan kekerasan, dan kedua, saya meletakkan jabatan. Setelah saya pikir-pikir, saya tak sampai hati memerangi Aceh. Lalu bicara melalui radio bahwa Pemerintah akan mengajukan RUU Otonomi kepada parlemen.

Permainan Soekarno

Setelah itu, muncul permainan di parlemen yang menyebabkan kabinet saya jatuh. Ya, karena ulah Soekarno dan PNI. Jadi, tidak fair itu. Makanya, kabinet saya mengundurkan diri. Itu lebih baik. Saya tidak mau dipermainkan begitu.

Coba bayangkan, sudah dua kali kami ditinggalkan dalam pertemuan dengan parlemen. Dicibir-cibirkan kami. Mereka suruh kami mengadakan pertemuan untuk membahas masalah pembubaran perwakilan-perwakilan DPRD. Waktu itu, di semua dewan di daerah, Masyumi jadi mayoritas.

Mulanya dewan itu dibentuk berdasarkan Peraturan Nomor 39, produk KNIP di Yogya. Kaum oposisi, PNI, meminta supaya dewan daerah ini dibubarkan. Kabinet tidak keberatan, dengan cara menyerahkan penanganan pelaksanaannya kepada Menteri Dalam Negeri Assaat. Selanjutnya, bagi kabinet, jika DPRD dibubarkan, hendaklah terlebih dulu dibuatkan undang-undang penggantinya, supaya tidak terjadi kevakuman. Tapi pihak oposisi tidak sabar.

Saya, yang bersama kabinet hendak memberikan keterangan kepada DPR, diboikot oleh mereka dalam sidang DPR. Mereka datang juga ke gedung DPR, tapi tidak duduk di kursi yang tersedia. Mereka tertawa-tawa di pintu-pintu DPR, sehingga jumlah kursi yang diduduki tidak memenuhi quorum. Ini namanya tidak mematuhi aturan main yang ada. Main tenis tanpa net!

Pangkal "permainan" Soekarno itu bermula dari masalah Uni Indonesia-Belanda sekitar soal Irian Barat (kini Papua). Terbetik berita bahwa Presiden Soekarno akan menyampaikan pidato maulid Nabi Muhammad Saw. Di situ dia akan menuntut agar Irian Barat dikembalikan pada Republik sebelum Januari 1951. Uni Indonesia-Belanda akan dibubarkan secara unilateral. Saya meminta kepada Presiden agar diberi kesempatan membaca naskah pidato itu terlebih dahulu. Saya menginginkan agar pembatalan Uni hendaknya jangan dimasukkan dalam pidato Maulid. Soekarno merasa dihalang-halangi.

Ketika diminta menjadi formatur kabinet, ada kesepakatan antara saya dan Soekarno bahwa dalam kabinet parlementer, untuk soal-soal politik yang penting, hak pengambilan keputusan ada di tangan kabinet dengan persetujuan parlemen. Saya mengusulkan agar masalah pembubaran Uni Indonesia-Belanda dibicarakan terlebih dahulu dalam kabinet, dan saya meminta agar Presiden berkenan hadir. Caranya, untuk menjaga wibawa Presiden, para anggota kabinet lah yang datang ke istana. Ini, walaupun dengan muka merah padam, Soekarno setuju.

Dalam rapat kabinet, dari voting yang dilakukan, tercatat ada 12 suara yang setuju pembubaran Uni diadakan dalam sidang gabungan menteri-menteri Uni nanti pada pertengahan tahun 1951. Sedangkan tiga suara memilih pembubaran secara unilateral. Dari hasil voting itu pun, saya katakan, bahwa persoalan tersebut masih akan dibicarakan lagi di parlemen. Dari kejadian ini, dapat dipahami jika Presiden Soekarno merasakannya sebagai pukulan terhadap kewibawaannya, satu hal yang tak bisa dimaafkan. Sekitar waktu itulah Soekarno mengatakan bahwa kedudukannya sebagai Presiden tidak lebih dari stempel karet.

Saya mengembalikan mandat kepada Presiden, dan Soekarno mengangguk sembari berkata begini: "Saya sudah duga sejak semula," dalam bahasa Belanda. Sejak itu, saya terus aktif di Masyumi. Saya kan jadi Ketua Fraksi Masyumi. Soekarno pun semakin berkilah, dan keadaan kian tambah berlarut-larut. Soekarno malah kemudian mulai berani melanggar UUD.

Sama-samalah PRRI

Pada suatu ketika, kami bertiga -saya, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap- saling bertemu. Dua minggu kami menimbang-nimbang kernungkinan mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Siapa yang punya gagasan lebih dulu? Ya, sama-samalah. PRRI itu dibicarakan bersama wakil komandan-komandan. Kami datang betul-betul dengan niat untuk mencari penyelesaian. Mereka, dipimpin Dahlan Djambek, kan datang ke sana.

Sebelumnya, saya sudah menulis surat kepada Perdana Menteri AH Sastroamidjojo supaya diambil tindakan yang perlu untuk menghadapi masalah itu. Pada waktu itu, komandan-komandan militer sudah menguasai propinsi-propinsi. Ajaklah mereka berunding. Panggil mereka ke Pusat atau kirim orang untuk menanyakan duduk perkaranya. Jadi, sebenarnya, itu tidak meletus begitu saja.

Itu dimulai dengan kegagalan Munas pertama, yang bermaksud mempersatukan Soekarno-Hatta, dan disusul dengan kegagalan Munas kedua, yang membahas ekonomi yang sudah payah. Dalam keadaan seperti ini, Perdana Menteri dan kabinetnya tidak berbuat apa-apa. Waktu itulah Simbolon dengan Dewan Gajahnya, di samping ada juga Dewan Banteng dan Dewan Garuda, artinya militer ini, mengambil oper pemerintahan dari gubernur-gubernur. Bayangkan, prajurit mengurus negara.... Kami menjalin kontak pribadi dengan mereka secara informal. Kami juga menanyakan kemungkinan mempersatukan kembali negara kita ini. Lalu diadakanlah pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat.

Karena Soekarno sudah melanggar UUD, kami mengajukan usul agar dibuat kabinet yang dipimpin oleh Hatta sebagai Perdana Menteri dan Hamengku Buwono sebagai wakilnya. Kabinet yang ada sekarang perlu menyerahkan mandat kepada Presiden, lalu dibuat kabinet baru. Presiden tetap Presiden. Jadi, kami ini ingin kembali ke UUD, dan, yang penting, bagaimana menyatukan negara ini kembali.

Kami memberi ultimatum. Kalau dalam tempo lima hari terhitung sejak 10 Februari 1958 dari Jakarta tidak ada jawaban, berarti kami bebas dari kewajiban taat kepada pernerintah yang melanggar Undang-undang Dasar. Tahu apa yang terjadi kemudian? Kabupaten Painan di bom. Kami dijatuhi mortir dan segala macamlah... Jadi, ya, kami bebas. Lantas, kami umumkanlah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.

Pada waktu itu pun, kami menyatakan, kalau suatu saat Pemerintah Pusat di Jakarta mau membubarkan kabinet dan kembali ke UUD - dengan memberi mandat kepada Hatta-Hamengku Buwono IX -maka kami menyerahkan kembali kewajiban taat dan menyerahkan kembali kekuasaan kepada Pemerintah. Jadi, ini bukan mengambil kekuasaan. Tidak. Sama sekali tidak. Kembali ke UUD itu yang penting.

Walaupun begitu, kami betul-betul bikin pemerintahan. Betul-betul seperti kondisi pemerintahan di Jakarta, malah, pemerintahan rakyat. Kami sungguh-sungguh mau serius, dan bukan untuk kepentingan pribadi. Makanya, tiap-tiap orang disumpah di hadapan rakyat. Dan sumpah itu bukan main-main.

Sebutlah gerakan itu pemberontakan karena kami melepaskan diri dari Pemerintah, tapi itu bukan untuk kepentingan sendiri. Kami ingin kembali ke UUD. Kita tunduk sama-sama. Apa itu pemberontak namanya? Ha? Syafruddin sendiri sudah mengatakan, kalau Pemerintah di Jakarta mau kembali ke UUD yang dilanggar itu, kami bersama-sama akan menyerahkan kembali semuanya kepada Pemerintah. Sebab, kita memerlukan suatu budaya taat kepada UUD. Soekarno sudah melanggar, dan komunis malah terus memasukkan paham mereka sehingga memperoleh kekuasaan.

Politik dan Dakwah

Pada mulanya saya kembali dari PRRI ke Jakarta baik-baik saja. Tak berapa lama, kami mau diperiksa. Saya dipindahkan ke daerah di antara Puncak dan Bogor. Lantas dipanggil lagi ke Jakarta oleh Nasution. Ada yang menjaga kami, supaya kami aman, katanya. Ternyata kemudian, saya dikirim ke Batu, Jawa Timur; Syafruddin Prawiranegara ke Kedu, Jawa Tengah, dan Burhanuddin Harahap ke Pati, Jati, Jawa Tengah. Jadi, kami dipisah. Kalau Pak Soemitro Djojohadikoesoemo lari ke luar negeri.

Waktu ditahan, saya bertemu dengan mereka yang ditahan bukan karena masalah PRRI. Mereka sama sekali tidak terlibat PRRI, melainkan hanya dicurigai. Waktu itu PKI kan sudah memegang Soekarno. Politiklah yang menyebabkan kami yang sudah mendapatkan amnesty kembali dijadikan orang tahanan. Di dalam tahanan, orang yang tadinya tidak sholat jadi sholat. Sutan Sjahrir belajar sholat di situ. Dialog-dialog tentang politik kenegaraan ada juga, sekadar dialog di antara kami. Kami juga mendapat kiriman buku bacaan.

Namanya juga di dalam tahanan, ada saja peristiwa yang lucu. Mula-mula kami diantari makanan dan kemudian disuruh mengambil sendiri. Lantas, di antara kami ada yang tidak mau mengambil makanan itu. Ya, saya dan beberapa teman. Kami mogok makan. Lama-kelamaan, lebih banyak yang mogok daripada yang tidak mogok makan. Yang tidak mogok makan cuma empat orang. Kami mogok makan karena dapat kiriman makanan dari rumah, walaupun tidak banyak. Makanya, kadang-kadang kami masak sendiri. Saya kan sudah terbiasa masak sendiri sejak kecil. Jadi, ya, tidak ada masalah.

Oh, ya, dari balik jeruji penjara saya juga sempat membantu Orde Baru. Waktu itu saya masih di karantina di rumah tahanan Keagungan nomor 62. Pimpinan Kostrad (maksudnya Soeharto-pen) menyuruh seseorang untuk mendatangi saya. Orang suruhan itu kenal dengan keponakan saya. Dia ipar dari keponakan saya yang bekerja di Departemen Penerangan. Saya ditanyai bagaimana cara membawa utusan ke Malaysia, sedangkan hubungan kita dengan Negeri Serumpun itu belum baik.

Utusan itu, antara lain, Ali Moertopo dan Leonardus Bernardus "Benny" Moerdani. Malaysia tidak keberatan kalau ada utusan ke Kuala Lumpur. Siapa yang akan menerima, tidak jelas. Waktu itu, Tengku Abdul Rahman meninggalkan Kuala Lumpur, satu hari sebelum delegasi Indonesia datang. Jadi, seolah-olah Malaysia mengelak, tidak mau menerima.

Saya kenal dengan tengku Abdul Rahman. Kenal baik. Waktu memperjuangkan kemerdekaan Malaysia dari Inggris, dia pernah datang ke Indonesia, dan bertemu dengan saya dalam satu resepsi. Saya ambil kesempatan untuk menulis dengan tangan dalam tahanan. "Ini ada niat baik dari Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia,. Mudah-mudahan Tengku bisa menerima." Punt, titik. Tidak banyak cerita. Waktu itu, Tengku Abdul Rahman masih menjabat Perdana Menteri Malaysia, bahkan juga sebagai Bapak Malaysia.

Surat itu diberikan kepada Sekretaris Pribadi Tengku oleh delegasi tadi, dan si sekretaris mengantarkannya kepada Tengku Abdul Rahman. Segera setelah Tengku membaca surat tulisan tangan saya.Tengku bilang: "Datanglah mereka besok di tempat saya." Spontan. Padahal, tadinya, tidak berniat menerima utusan itu.

Tapi pembebasan saya dari tahanan, lama sesudah itu, dan bukan lantaran jasa tersebut. Saya juga tidak terlalu mengharapkan yang macam itu; di samping tidak merasa sangat berjasa.

Sebagai ustadz berpendidikan Barat dan terjun ke politik, akhirnya saya "lari kembali" ke dakwah. Saya lihat, dunia pendidikan memang sudah digarap oleh banyak orang. Dulu kan saya pernah mendirikan sekolah. Kalau saya bikin sekolah, cuma satu sekolah yang bisa saya urus. Dari pagi sampai malam habis waktu untuk satu sekolah. Maka, lebih baik urusan sekolah itu diserahkan kepada mereka yang bikin sekolah, seperti pesantren atau Muhammadiyah. Lalu, mereka kami bantu saja. Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang berdiri tahun 1967, memberi usul-usul kepada mereka. Sehingga ada kerja sama dan ini lebih bermanfaat.

Bagi saya, politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan. Seperti dua sisian dari keping uang yang sama. Kalau kita berdakwah, dengan membaca al-Qur'an dan Hadits - itu berpolitik. Jadi, dulu berdakwah lewat politik, sekarang berpolitik melalui jalur dakwah. lya, mengaji politik, begitulah. Saya merasa bahwa DDII tidak lebih rendah daripada politik. Politik tanpa dakwah hancur. Lebih dari itu, saya tidak bisa mengambil sikap diam.

Adakah sesuatu yang belum tercapai? Hingga sekarang ini, yang belum tercapai sama seperti keinginan saya waktu jadi Perdana Menteri; orang-orang yang rukun, beragama, ada tatsammuh, toleransi antara umat beragama yang satu dengan umat yang lain, itu ndak tercapai. lya, Baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur (Negara sejahtera yang penuh ampunan Allah), itu yang ndak atau belum juga tercapai....(RM-AgusBasri).

[Majalah Risalah Mujahidin, Edisi 17 Shafar 1429 H / Feb - Maret 2008 M]

Jumat, 14 Maret 2008

“Hamka dan Pluralisme Agama”

Hamka, pernah mundur dari Ketua MUI daripada harus menarik fatwa haramnya merayakan “Natal Bersama” . Apalagi mendukung ‘Pluralisme Agama’ Baca CAP Adian Husaini ke-172

Oleh: Adian Husaini


Pada Selasa, 21 Nopember 2006, Syafii Maarif menulis kolom resonansi di Republika yang berjudul “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan Syafii Maarif tersebut. Rabu paginya,

setibanya di Jakarta, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya cek ke Tafsir al-Azhar, karya Buya Hamka, seperti yang dirujuk Syafii Maarif, memang ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sosok Prof. Hamka, ulama terkenal yang legendaris.

Pluralisme Agama tampaknya memang sudah menjadi alat penghancur aqidah Islam yang sangat intensif disebarkan ke berbagai pelosok. Kamis (30 November 2006), malam, seseorang yang tinggal di satu kota kecil di propinsi Banten, menelepon saya dan meminta untuk datang ke kota itu karena baru saja diselenggarakan satu seminar yang menyebarkan paham “Pluralisme Agama”.

Ayat Al-Quran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh kalangan pendukung paham Pluralisme Agama untuk menjustifikasi paham Pluralisme Agama, bahwa semua agama adalah merupakan jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu. Tidak peduli siapa pun nama dan sifat Tuhan itu ; dan tidak peduli bagaimana pun cara menyembah Tuhan itu.

Dalam bahasa Nurcholish Madjid: ‘’bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama.’’ Dalam bukunya, The World’s Religions, Huston Smith juga menulis satu sub-bab berjudul “Many Paths to the Same Summit”. Ia menulis: “Truth is one; sages call it by different names.” (Kebenaran memang satu; orang-orang bijak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda).

Jadi, dalam pandangan Pluralisme Agama – versi transendentalisme – ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan Pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab sucinya masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”

Tentu saja, legitimasi paham Pluralisme Agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari masing-masing agama. Tahun 2000, Vatikan telah menolak Paham Pluralisme dengan mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’.

Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham Pluralisme Agama berjudul: “Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini”. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham Pluralisme Agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul “Semua Agama Tidak Sama.” Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham Universalisme Radikal’.

Penyalahgunaan

Di kalangan kaum Pluralis agama yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asalkan beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik terhadap sesama manusia, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga. Tidak pandang agamanya apa, Tuhannya siapa, dan bagaimana cara menyembah Tuhannya. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad saw. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah ‘Tafsir al-Manar’-nya yang ditulis oleh Rasyid Ridha.

Prof. Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul “Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic self-identification”, menyatakan: “Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen.

Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir al-Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka yang dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, diantaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Al-Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al-fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan pemaaf yang bisa membebaskan mereka dari hukuman (lâ 'udzr lahum dûn al-'uqûbah), karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar.

Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada Allah" dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, sebagaimana disyaratkan dalam QS 2:62-dan 5:69, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw, yaitu Nabi Muhammad saw. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad saw, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar. Jika tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw, mustahil manusia dapat mengenal Allah dan beribadah degan benar, karena Allah SWT hanya memberi penjelasan tentang semua itu melalui rasul-Nya.

Pendapat Hamka

Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain. Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.

Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 – sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif – bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih."

Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Al-Quran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, Al-Quran, dan Nabi Muhammad saw, meskipun dia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan mendapatkan keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.

Soal keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan Al-Quran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad saw, sebagai penutup para Nabi.

Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh bedanya dengan para pengusung paham Pluralisme Agama. Hamka sangat tegas dalam masalah keimanan.

Dalam catatan ini, kita pernah mengutip satu tulisan Buya Hamka yang berjudul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.” Di situ, Prof. Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi akan menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka memberikan komentar tentang usulan akan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan.

Hamka menulis: “Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka, kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima, kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”

Kita perlu menggarisbawahi ungkapan Buya Hamka, bahwa “dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.”

Ya, tentu kita maklum, bahwa dalam soal keyakinan memang tidak ada kompromi. Jika kita yakin bahwa Iblis adalah musuh yang nyata, maka tidak mungkin kita juga mengakuinya sebagai teman akrab. Jika seorang Muslim yakin bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib, maka tidak mungkin pada saat yang sama dia juga meyakini konsep trinitas dalam Kristen. Lakum dinukum waliya din. Bagi kami agama kami, bagi anda agama anda. Demikianlah sikap yang diajarkan dalam Al-Quran. Kita menghormati keyakinan orang lain, tanpa mengurangi keyakinan kita sebagai seorang Muslim. (Depok, 1 Desember 2006/www.hidayatullah.com).

Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Hamka


Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Biografi

Hamka

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.


Daftar Karya Buya Hamka
Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
Si Sabariah. (1928)
Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
Kepentingan melakukan tabligh (1929).
Hikmat Isra' dan Mikraj.
Arkanul Islam (1932) di Makassar.
Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.
Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
Tuan Direktur 1939.
Dijemput mamaknya,1939.
Keadilan Ilahy 1939.
Tashawwuf Modern 1939.
Falsafah Hidup 1939.
Lembaga Hidup 1940.
Lembaga Budi 1940.
Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepun 1943).
Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
Negara Islam (1946).
Islam dan Demokrasi,1946.
Revolusi Pikiran,1946.
Revolusi Agama,1946.
Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
Didalam Lembah cita-cita,1946.
Sesudah naskah Renville,1947.
Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
Ayahku,1950 di Jakarta.
Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
Kenangan-kenangan hidup 2.
Kenangan-kenangan hidup 3.
Kenangan-kenangan hidup 4.
Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
Pribadi,1950.
Agama dan perempuan,1939.
Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
Pelajaran Agama Islam,1956.
Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
Empat bulan di Amerika Jilid 2.
Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
Himpunan Khutbah-khutbah.
Urat Tunggang Pancasila.
Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
Sejarah Islam di Sumatera.
Bohong di Dunia.
Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
Pandangan Hidup Muslim,1960.
Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
[Tafsir Al-Azhar][1] Juzu' 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.

Aktivitas lainnya
Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942
Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956
Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953
Tafsir Al-Azhar Online

Rujukan
Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979.

Pranala luar
(id) Ceramah Buya Hamka
(id) Info lain tentang Hamka
(id) Tafsir Hamka Online

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah

Biografi Buya Hamka

Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA.


Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.