Minggu, 26 Agustus 2007

Sepotong Malam untuk Seluruh Kehidupan

Untuk apa malam-malam itu? Sepertiga akhirnya. Saat Allah turun ke langit bumi. Tentu, untuk beribadah, memohon, mencari kekuatan dalam munajat dan pengharapan. Dalam shalat malam, do'a dan juga istighfar.

Tiga hal berikut, barangkali merangkum pemaknaan munajat di ujung malam itu. Meski bahasan soal ini punya ruang dan tempatnya yang lain dan lebih luas.

1. Makna Personal, Menyambut esok dengan kesegaran hati.

Hubungan komunikasi di ujung akhir malam dengan Allah SWT dalam shalat dan munajat, istighfar dan do'a, memberi kekuatan nyata bagi kita dalam menyambut hari esok. Ini mungkin terasa sangat abstrak. Tapi pada dasarnya tidak. Bahkan ini bisa dibilang wilayah efek yang berbentuk fisik dan material, bahkan sangat personal, dari komunikasi dengan Allah di ujung malam. Rasulullah menjelaskan, barangsiapa yang pada malam harinya bangun shalat malam, maka pada pagi harinya, ia akan bangun dalam keadaan penuh semangat, bersih jiwanya serta telah mendapatkan kebaikan. Sebaliknya, yang tidak melakukan itu, akan mendapati dirinya di pagi hari dalam keadaan malas, kotor jiwanya serta tidak mendapat kebaikan.

Disinilah, sesungguhnya seorang mukmin mengambil energi untuk pagi harinya, dari sumber yang sangat menyegarkan di ujung malamnya. Secara batin, bahkan secara lahir. Karenanya dalam riwayat lain, Rasulullah menegaskan bahwa shalat malam atau Qiyamullail bisa menjauhkan badan dari penyakit.

Rasulullah SAW bersabda, "Hendaklah kalian mengerjakan qiyamul lail, karena qiyamullail itu kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, sebab qiyamullail mendekatkan diri kepada Allah, mencegah dari dosa, menghapus kesalahan-kesalahan dan mengusir penyakit dari tubuh." (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim, hadits ini sesuai dengan syarat Al-Bukhori).

Lebih jauh, Muhammad Sholeh, seorang dosen IAIN Surabaya, melakukan penelitian panjang tentang shalat malam dan hubungannya dengan manfaat kesehatan. Hasilnya, shalat tersebut bisa membebaskan seseorang dari serangan jantung dan penyakit kanker.

Dalam desertasinya yang berjudul "Pengaruh Shalat Tahajud terhadap Peningkatan Perubahan Response Ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi", ia menjelaskan bahwa seorang muslim yang melakukan shalat malam secara rutin, benar, khusyuk dan ikhlas niscaya terbebas dari infeksi dan kanker. Dengan desertasi itu, Sholeh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran pada Program Pascasarjana Universitas Surabaya.

Masih menurut Sholeh, qiyamullai jika dilakukan secara kontinyu, tepat gerakannya, khusyuk dan ikhlas, secara medis shalat itu menumbuhkan respons ketahanan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfositny yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi. Sekali lagi, ia menitikberatkan pada aspek kesinambungan (rutin) sholat qiyamullail itu, ketepatan gerakan, kekhusyukan dan keikhlasannya dan bukan sekedar menggugurkan sunnah.

Mengenai ikhlas sendiri, menurut Sholeh, bisa diukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya antara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari atau setelah pukul 24.00 normalnya antara 69-345 nmol/liter. Maka, menurutnya, kalau jumlah hormon kortisolnya tidak normal, bisa diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan.

Memang, tujuan ibadah tidak boleh untuk kepentingan medis. Ibadah harus dilakukan secara ikhlas sebagai wujud penghambaan kepada Allah. Manfaat-manfaat fisik itu hanyalah hikmah. Tetapi, manfaat-manfaat itu setidaknya dapat menjelaskan sisi lain, tentang bertemunya fitrah ideologis seorang muslim dengan fitrah fisiknya. Sesuatu yang harus menambahkan bobot keimanan dalalm dirinya.

2. Makna Sosial, Dari sini pertarungan dimulai.

Pertarungan manusia dengan syetan memang terjadi sepanjang waktu. Tapi, sesungguhnya di ujung malam itu, sejak itulah pertarungan untuk sebuah hari dimulai. Sebab, ketika tidak bisa bangun malam, ia akan kehilangan kesempatan berharga untuk berjumpa dengan Allah melalui munajat dan do'a. Sebuah ritual yang memberikan kita puncak kekuatan, kesegaran, dan spirit baru bahkan untuk menghadapi kehidupan dunia ini.

Rasulullah menjelaskan, "Syetan mengikat tengkuk leher setiap orang dari kalian jika ia tidur dengan tiga ikatan. Syetan menepuk setiap ikatan dengan berkata (kepada orang tersebut), 'Engkau masih punya malam panjang, karena itu tidurlah'."(HR. Bukhori Muslim)

Lebih jauh Rasulullah menjelaskan, "Jika orang tersebut bangun lalu menyebut Allah, lepaslah (satu) ikatannya. Jika ia berwudhu, terlepaslah lagi ikatan (kedua)nya. Jika kemudian ia shalat, maka terlepaslah semua ikatannya." (HR. Bukhori Muslim)

Sisi kedua ini, memberi penekanan pada aspek pertarungan yang pasti akan dihadapi seorang muslim melawan syetan. Terlebih pada perjalanannya di siang hari, mengarungi hidup. Dan, itu semua memerlukan bekal. Pada seluruh transaksi hidup kita di siang hari, begitu banyak celah-celah syetan. Pada perdagangan yang kita lakukan, jual atau beli, pada tugas-tugas pekerjaan yang kita jalankan, mengajar, memimpin departemen, mengurus perusahaan, menjaga barang di toko, mengisi soal-soal ujian, mengawasi kekayaan atau titipan orang, dan seterusnya, semuanya memiliki seribu satu macam celah untuk disesatkan syetan, bahkan pada detik-detik yang tak pernah diduga sebelumnya.

Perhatikanlah kisah seorang ibu yang tega membunuh seorang anak SD, setelah merampas kalung anak itu. Seperti juga kejadian serupa lainnya, ibu itu tak pernah merencanakan akan membunuh. Lintasan untuk membunuh itu begitu cepat datang, bersama dorongan syetan, pada detik sesaat setelah sebelumnya dorongan merampas kalung itu hadir pada detik lainnya. Tidak ada skenario, tidak ada rencana, tidak ada kehendak di jauh hari, detik itu adalah celah syetan-syetan itu. Na'udzubillah

Memaknai urgensi bertemu Allah di ujung malam, dalam konteks ini, sesungguhnya memberi kita pemahaman lain, tentang pentingnya menyelesaikan begitu banyak problema kehidupan siang, dengan sepotong seremoni malam. Dengan kata lain, qiyamullail dan bermunjat kepada Allah pada penghujung sepertiga malam, adalah cara keimanan menyelesaikan begitu banyak masalah-masalah sosial kita.

Sebab, problem sosial dengan segala format interaksinya di siang hari, adalah lapangan raksasa, tempat segala kehendak bertarung. Tempat syetan dan hawa nafsu manusia mengaduk-aduk jiwa banyak orang, lalu melemparkannya dalam kegamangan dan keputusan-keputusan yang salah dan berakibat fatal.

3. Makna Spiritual, Di sana ada kamar, luarnya terlihat dari dalam, dalamnya terlihat dari luar.

Bertemu Allah, di ujung malam, tentu dan pasti, memberi makna lain selain kedua hal diatas. Makna spiritual. Bahkan inilah utamanya. Meski antara satu dengan yang lain tak dapat dipisahkan. Tapi ada pengertian penghambaan, ia memberi penekanan makna yang lebih mendalam.

Pengharapan itu bahkan melayang jauh, nun jauh disana, pada hamparan surga Allah yang dijanjikan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. "Sesungguhnya, di surga itu ada kamar yang sisi luarnya terlihat dari dalam dan sisi dalamnya terlihat dari luar. Disediakan untuk mereka yang memberi makan orang-orang yang perlu makan, menyebarkan salam, serta mendirikan shalat pada saat manusia terlelap dalam tidur malam." (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya)

Al-Qur'an bahkan dengan jelas menyebutkan:"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam." (QS. Adz-Dzariyat :15-17)

Dari ujung malam itulah benih-benih pengharapan ditanam, disemai, dan ditumbuh suburkan. Selain tentu saja, pengharapan akan ampunan, maaf dan penjagaan dari dosa. "Hendaklah kalian mendirikan qiyamullail. Sebab itu adalah jalan orang-orang shalih sebelum kalian, sarana bertaqarrub kalian kepada Allah, penghapus kesalahan dan pelindung dari tindakan dosa".

Di sana, di ujung malam itulah kita menjaga stamina harapan. Sebab disana kita belajar mengeja yang tampak bagaimana menjadi seperti nyata. Belajar merasa bagaimana yang tak terlihat menjadi seperti ada. Tentang akhirat, surga itu, dan kengerian neraka itu.

Kekuatan spiritual itulah yang akan memberi kita 'kaca mata' batin, yang menjaga kita, esok harinya, siang atau sorenya, untuk tidak silau dengan segala gemerlap dunia. Sebab, nyatanya yang gemerlap itu yang bisa diraba, dirasa dan dilihat mata. Mempesona jutaan orang, bahkan menenggelamkannya.

Hanya yang rajin berjumpa dengan Allah, saat Ia turun ke langit bumi, yang mata batinnya akan mengalahkan mata kepalanya. Akan selalu terlihat di depan matanya kehidupan nun jauh disana, kampung akhirat yang pasti dan abadi selamanya. Ia mungkin memegang sebagian dunia, kesenangannya yang halal, ladangnya, kuda-kuda pilihan, juga wanitanya yang halal. Tapi hatinya tidak ditambat disini, di taman dunia ini. Tapi ia ikatkan disana, di pengharapan kampung akhirat sana.

Di setiap penghujung malam, pada sepertiga terakhirnya, selalu dan selamanya, Allah menanti hamba-hamba-Nya yang hendak memohon atau meminta. Sebuah kemurahan dari Zat Yang Maha Pemurah. Bila pagi mulai bercahaya, bertanyalah setiap kita, adakah peraduan semalam, di hadapan Allah Yang Maha Penyayang?

Ini tak sekedar soal membuka mata, bangun, lalu shalat atau bermunajat di malam yang gelap. Lebih dari itu, ini adalah kadar yang bisa kita ukur dengan jujur, sejauh mana sesungguhnya daya tahan kita mengarungi hidup, yang sebagian nafasnya harus kita hirup dari ujung-ujung malam itu.

Dikutip dari : Majalah Tarbawi Edisi 71 Th. 5