Kamis, 27 September 2007

Pendidikan Tauhid

Kajian Surah Al-Alaq 1-5 (Sebuah Tawaran)

Tauhid merupakan inti dan fondamen dari ajaran Islam. Konsepsi monotheisme yang bersumber pada ajaran (millah) Nabi Ibrahim yang mengalami banyak distorsi dan reduksi dari ajaran Kristen dan Yahudi, membuat kehadiran Islam sebagai agama terakhir menempati posisi yang sangat sentral untuk memurnikan konsep monotheisme.

Pendidikan tauhid sudah terkandung secara jelas pada ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi pada malam 17 Ramadhan 610 M. Peristiwa tersebut meninggalkan seribu satu misteri buat kita, diantaranya muncul pertanyaan kenapa harus surah Al-Alaq 1-5 yang harus diturunkan pertama kali? Kenapa bukan surah al-Fatihah atau surah-surah lainnya. Tentu banyak spekulasi mengenai hal tersebut, dan diantaranya sebagaimana ditawarkan dalam tulisan ringkas berikut.
Nabi SAW. pernah bersabda yang berbunyi: “Addabani Rabbi Fa Ahsana Ta’dibi”, yang artinya kurang lebih: “Tuhan telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan”. Kita semua tahu bahwa Nabi adalah seorang yang ummi dalam arti tidak mampu baca-tulis secara material. Akan tetapi Allah mendidik Rasul dalam universitas kehidupan, yang sangat sedikit orang dapat lulus dari universitas ini. Allah bahkan sudah mendidik Rasul sejak dilahirkan, di mana beliau sudah menjadi yatim, yang beberapa tahun kemudian disusul oleh kemangkatan ibunya. Ini adalah semester pertama pendidikan Allah kepada Nabi, yaitu untuk menumbuhkan kemandirian eksistensial transenden dengan proses peyatiman. Pada semester kedua, Allah melatih kemampuan manajerial, organisasi dan kepemimpinan Nabi pada proses menggembalakan ternak pamannya Abu Thalib. Menginjak semester ketiga, Allah mendidik semangat interpreneurship pada Rasul melalui proses memperdagangkan barang dagangan Siti Khadijah. Pada semester keempat, Allah melatih kepekaan emosional, sikap bertanggung jawab, dan latihan kepemimpinan pertama, melalui proses pernikahannya dengan Siti Khadijah yang nota bene adalah seorang janda berusia 40 tahun. Pada semester kelima atau semester terakhir, dalam diri Rasul muncul ketidakpuasan dan sikap kritis terhadap fenomena kejahiliahan yang terjadi di kota Makkah ketika itu. Sehingga muncul kegelisahan intelektual dalam diri Rasul, yang mengantarkan beliau pada proses kontemplatif di gua Hira. Proses perenungan itu memakan waktu berbulan-bulan, dan Rasul mengerahkan segenap daya fikir dan spiritualnya untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di gua Hira ini adalah upaya keras yang melebihi upaya keras para sarjana untuk mengerjakan skripsi, tesis, atau disertasi sekalipun!. Upaya Rasul ini membuahkan hasil, dan beliau lulus magna cum laude dari pendidikan Allah dengan anugerah gelar kenabian dan kerasulan, dengan ijazah Al-Qur’an, yang pertama kali diwakili oleh surah Al-Alaq 1-5.
Menurut penulis, sangat beralasan kalau Allah menurunkan surah Al-Alaq 1-5 sebagai wahyu pertama, karena kelima ayat ini sangat sarat akan nilai-nilai fundamental dan filosofis, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Kelima ayat tersebut menyentuh tiga aspek utama dari kehidupan, yaitu Tuhan, manusia dan alam, di mana ketika aspek ini juga menjadi jiwa zaman dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia. Yaitu, pada era Yunani kuno pola berfikir manusia yang polytheistik dan kosmosentris (berpusat pada alam). Pada abad pertengahan, khususnya setelah perkembangan ajaran Yahudi dan Kristen, pola berfikir manusia sangat theosentris (berpusat pada Tuhan). Kedatangan Islam semakin membuat pola berfikir theosentris mengalami masa puncaknya, yang dari Islam diwakili oleh Imam al-Ghazali (Ihya Ulumuddin), dan diikuti oleh teolog Kristen, yaitu Thomas Aquinas (Summa Theologia). Sejak era renaisans, subyek berfikir manusia terpusat pada manusia (anthroposentris), dan hal tersebut masih terus berlangsung hingga kini di Barat. Sedangkan surah Al-Alaq 1-5, konsep yang mengejawantah adalah konsep Ma’rifatul-Rabb, Ma’rifatul-Insan dan Ma’rifatul-Alam. Ketiga konsep inilah inti pendidikan tauhid surah Al-Alaq 1-5.
Pada ayat 1-3, “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Mulia”. Secara ontologis ayat-ayat ini akan membantah argumen terkenal Rene Descartes “cogito ergo sum” (berfikir maka aku ada), atau barangkali menjadi solusi konflik berkepanjangan antara kubu rasionalis dan empirisis. Karena konsep “bacalah” (iqra) tidak hanya menjadi landasan proyeksi pengetahuan dalam Islam. Akan tetapi juga menjadi proyeksi filosofis, di mana dalam proses “membaca” tersebut, instrumen rasional dan indriawi (empirik) bekerja secara integral. Dan memang dalam doktrin Islam tidak ada dikotomi antara yang rasional dan yang empirik. Term rasional, empirik dan intuitif biasa disentuh oleh al-Qur’an dengan term “sam’a wal abshara wal af’idah” atau dalam term-term lainnya, yang sedari awal tidak ada dikotomi konseptual di dalamnya. Sedangkan pada ayat 4-5, “Yang mengajar manusia dengan pena (kalam), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”, terdapat isyarat epistemologis pada ayat ke empat, yaitu pada term “kalam” yang bermakna sumber pengetahuan universal absolut. Penjelasan mengenai “kalam” kembali di pertegas oleh Allah pada surah kedua yang turun, yaitu surah Al-Qalam, di mana Allah membantah tuduhan orang-orang kafir Quraisy, bahwa Nabi adalah seorang yang gila, karena Nabi sudah mengetahui epistemologi wahyu Allah. Pada ayat kelima terdapat isyarat aksiologis, bahwa kebenaran wahyu Allah harus diajarkan dan disebarkan, karena kedatangan Islam sebagai rahmat Allah bagi seluruh seru sekalian alam (Rahmatan lil Alamin).
Dalam sirah nabawiyah diceritakan bahwa setelah wahyu pertama turun, terdapat masa yang relatif lama, hingga turun wahyu yang kedua. Bahkan sampai-sampai Rasul hampir menjatuhkan dirinya ke dalam jurang, karena keputusasaannya. Ini adalah pertanda bahwa lima ayat pertama tersebut menjadi landasan penting dari tauhid, dan butuh eksplorasi pemikiran secara mendalam, sehingga lahir kesadaran eksistensial sebagai hamba Tuhan, dan kesadaran tersebut diproklamasikan dengan dua kalimat syahadat. Barangkali tema-tema substansial yang terkandung dalam lima ayat tersebut yang menjadi landasan konseptual pengakaderan Rasul terhadap para “Assabiqunal Awwalun” di rumah al-Arqam bin Arqam. Sehingga membuat sahabat-sahabat utama seperti Bilal Bin Rabbah, Ammar Bin Yasir, Mush’ab Bin Umair dan lain-lain, memiliki keteguhan tauhid yang luar biasa, walaupun disiksa secara kejam.

*Oleh : Abdurrohim Mahasiswa S2 Jurusan pemikiran pendidikan Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

[www.stishidayatullah.ac.id]