Sabtu, 15 Desember 2007

Patani, Jauh Di Mata, Dekat di Hati

Memasuki Patani, mirip ke Aceh tempo dulu. Meski budaya Muslim Melayu sangat kental. Namun di mana-mana masih "diawasi" tentara



Hidayatullah.com--Alhamdulillah setelah tinggal di Bangkok nyaris dua bulan dan ngimpi ke Patani sejak lama, tiba-tiba saya dikontak National Reconciliation Council of Southern Thailand conflict untuk ikut sharing experiences tentang peacebuilding process pada workshop di Patani 7 – 8 December 2007. Kesampaian juga mimpinya. Allah SWT memang Maha Tahu keinginan hambanya.

Maka, tanggal 7 December 2007 pagi saya terbang ke Hatyai, kota terdekat dengan Patani yang punya bandara (karena di tiga propinsi Thailand, hanya Narathiwat yang punya Bandara, itupun hanya ada satu flight sehari ke Bangkok dengan NokAir, sungguh kayak anak tiri).

Tiba di Hatyai, atmosfir sudah sedikit berbeda. Di mobil jemputan kami ada stiker bertuliskan Allah dan Muhammad serta sang supirnya Muslim. Pemandangan yang sukar ditemui di Bangkok . Kalimat-kalimat Arab juga sudah mulai mudah dijumpai di Hatyai berdampingan dengan kalimat-kalimat Thailand . Tertera pada papan nama instansi pemerintah maupun swasta.

Perjalanan ke Patani memakan waktu satu setengah jam dari Hatyai. Jalanannya luas dan lengang dengan dua jalur terpisah yang mulus dan lebar. Hutan lebat diselingi pertanian rakyat adalah pemandangan utama perjalananan antara Hatyai dan Patani.

Sekedar informasi, Hatyai adalah kota terbesar di Provinsi Songkla yang penduduknya 50 % Muslim. Bersama-sama dengan provinsi Patani, Yala, dan Narathiwat, keempatnya dijuluki sebagai Patani Darussalam. Maka, nama Patani bisa berarti tiga makna : kota Patani, propinsi Patani, atau Patani Darussalam yang berarti gabungan dari empat propinsi mayoritas Muslim di Selatan Thailand .

Memasuki Patani, atmosfir semakin berbeda. Warna budaya Muslim Melayu semakin kental. Para Muslimah berjilbab, tua muda berseliweran dengan jalan kaki, naik motor tanpa helm, ataupun dengan angkutan umum. Para lelaki tak banyak terlihat di jalan. Atmosfir kedua yang terasa berbeda adalah security yang amat ketat. Memasuki Patani berarti memasuki sekian banyak military checkpoint dan police checkpoint. Setiap beberapa kilo ada military checkpoint. Persis Aceh ketika jaman darurat militer sebelum tsunami dan Helsinki agreement.

Bagi mereka yang sering singgah ke Malaysia dan Aceh, sepintas pemandangan di Patani tak jauh berbeda. Yang menandakan bahwa ini wilayah Thailand hanyalah potret Raja Bhumibol yang masih bertebaran disana sini dan bendera Thai serta bendera kuning kerajaan yang bertengger di sekolah, hotel, maupun instansi pemerintah.

Penduduknya sendiri lebih banyak yang bercakap-cakap dalam bahasa Melayu Patani ketimbang bahasa Thai. Utamanya kaum dewasa dan tua. Bahasa Melayu mereka unik. Bahasa “percakapan kampong”-nya sulit ditangkap karena lidah seperti ditekuk, persis Melayu Kelantan Malaysia . Namun bahasa formalnya amat mirip dengan Melayu Malaysia , mudah dipahami oleh telinga Indonesia . Saya ikut shalat Jum’at di Masjid desa Tiraya dan bahasa khotbah Jum’at –nya amat mudah dicerna. Juga bahasa penyiar radio-nya. Cukup understandable.

Konflik di Patani, Yala, dan Narathiwat sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Sama tuanya dengan ketika ketiga propinsi tersebut dilebur ke dalam kerajaan Siam melalui perjanjian sepihak oleh pemerintah kolonial Inggris pada awal abad 20.

Sebelum dipaksa bergabung dengan Siam, Patani adalah kesultanan Mandiri yang tersohor sebagai salah satu pusat studi Islam di Asia Tenggara. Konflik yang berskala meluas dan massif berlangsung mulai awal 2004. Ketika terjadi penyerbuan Masjid Krue Se di Patani pada April 2004 lalu pembantaian Tak Bai di Narathiwat pada Oktober 2004.

Kedua peristiwa tersebut menambah eskalasi konflik Thailand Selatan dan memaksa pemerintah Thai era Thaksin berpikir keras cara mengintegrasikan warga Thai beretnis Melayu (yang tak pernah merasa sebagai orang Thai ini) ke dalam Negara Thailand yang mayoritas Buddhist.

Sampai kini konflik masih berlangsung. Pekan lalu sebuah karaoke dibom oleh orang tak dikenal di luar kota Patani hingga tujuh orang tewas. Bulan Agustus silam dua rumah dibakar di desa Tiraya, tak jauh dari kota Patani.

Penduduk hidup dalam cengkeraman ketakutan. Kendati kehidupan sepintas lalu berjalan normal. Mahasiswa tetap pergi kuliah ke kampus, pedagang berjualan ke pasar, pegawai bekerja di kantor, jama’ah shalat tetap pergi ke masjid. Namun setelah maghrib kondisi berubah, jalanan menjadi makin lengang, kedai menjadi semakin sepi. Minoritas China dan Buddhist tak tampak di jalan-jalan umum. Sekali lagi, mirip Aceh di era sebelum Perjanjian Helsinki.

Konflik Patani secara tak langsung mengusir warga Thai non Muslim keluar dari ketiga provinsi tersebut. Juga mengusir warga Muslim Patani sendiri yang bingung mengungsi kemana. Mengungsi ke Bangkok tak lebih baik karena juga tak merasa sebagai negeri sendiri. Ke Malaysia kendati secara kultural sama, namun juga mengundang masalah karena negaranya berbeda dan tak cukup ramah menampung ‘pendatang haram.’ Kampus Prince of Songkla University (PSU), Patani Campus, kini 90% mahasiswanya Muslim dari ketiga provinsi sekitar. Padahal dahulu sebelum konflik, mahasiswa dari seantero Thai yang berbeda agama datang studi kesana. Tak heran, pemandangan di PSU Patani Campus mirip dengan kampus Indonesia . Banyak mahasiswi berjilbab, ada masjid, ada banyak tempat shalat, makanan semua halal. Sangat berbeda dengan wajah kampus-kampus di Bangkok .

Jangan ditanya tentang bisnis, kendati ada Big C Superstore dan sekian banyak dealer mobil serta cellular company, namun bisnis mereka tak lebih hidup dari bagian Thai yang lain. Walau demikian, mesti diakui bahwa infrastruktur Patani amatlah baik, jalan luas dan mulus, listrik dan lifelines tersedia. Jauh lebih baik dari Aceh. Tapi tidak lebih baik dari propinsi Thai yang lain. Sedikit lebih baik-lah dari Narathiwat yang terkategori termiskin.

Satu hal yang menarik, di pasar tradisonal Patani, kedai DVD nya banyak menjual lagu-lagu dari artis Indonesia . Ada Laudya Cinthya Bella, Krisdayanti, dll. Tapi kebanyakan yang amat laris manis adalah Dangdut. Mereka bilang, kami suka dangdut Indonesia . Juga jangan tanya tentang sinetron Indonesia (yang juga mudah ditangkap dengan parabola), banyak yang hobi juga menonton sinetron dan film Indonesia .

Ada banyak cerita tentang Patani, kisah tentang semangat kaum minoritas bertahan di tengah mayoritas. Perjalanan kebingungan menentukan jati diri. Wajah kekerasan yang menahun dan melegenda. Ketidakpastian dan kecemasan yang selalu mendominasi hari-hari. Hidup terasing di negerinya sendiri…

Patani memang terbilang dekat dari Bangkok, tapi bagi sebagian besar warga Thai terasa begitu jauh (di hati). [Heru Susetyo, sedang melanjutkan di Mahidol University/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar: