Sabtu, 26 Januari 2008

Mohammad Fauzil Adhim Hikmah "Perenungan" Air Supply

Setiap tokoh mempunyai pengalaman yang mengubah jalan hidupnya. Tak terkecuali Mohammad Fauzil Adhim. Lelaki kelahiran Mojokerto, 29 Desember 1972, yang kini dikenal sebagai penulis utamanya mengenai pernikahan dan parenting sekaligus dai muda yang cukup populer.

Walaupun berasal dari keluarga kiai, penulis yang terkenal dengan trilogi Kupinang Engkau dengan Hamdalah itu tidak serta merta menjadi seorang yang religius. ''Waktu SMA saya lebih senang bergelut dengan puisi dan teater. Saya sering menginap di sekolah, dan berambut gondrong,'' kata lelaki yang akrab dipanggil Fauzil itu kepada Republika di Bandara Changi, Singapura, Juli 2005.

Meskipun demikian, ada satu hal yang selalu berkecamuk dalam diri Fauzil remaja. ''Sejak duduk di bangku SMP Negeri Kutorejo, Mojokerto, saya sering mempertanyakan eksistensi manusia. Bagaimana akhir kehidupan ini nantinya? Ketika saya sekolah di SMA Negeri 2 Jombang, pertanyaan tersebut lebih sering lagi mengusik batin saya. Saya sering bertanya-tanya tentang keabadian,'' kata penulis yang piawai membuat judul-judul yang puitis dan romantis itu.

Suatu hari, saat menginap di sekolah, Fauzil mendengar lagu Air Supply yang berjudul Listen to Your Hart. ''Ketika itu muncul pertanyaan dalam diri saya: bagaimana bisa mendengarkan isi hati, sedangkan isi hati saja tidak tahu? Kebenaran/ketenangan itu ada di hati. Saya ingat sabda Nabi Muhammad SAW, 'Mintalah pada nuranimu','' kenang Fauzil. Tapi bait-bait Air Supply itu terngiang selalu di telinganya.

Fauzil remaja senang makan di warung. Suatu hari, sambil makan siang, ia menonton lagu John Lennon, Imagine diputar di televisi. ''John Lennon membayangkan dunia yang damai tanpa aturan, agama, dan negara. Bagaimana mungkin itu terjadi, sedangkan dengan agama saja orang masih bertengkar? Kalau mencari sendiri dengan pikiran tanpa tuntunan, ujungnya kehancuran,'' tegasnya.

Ia mulai kerap bertanya pada dirinya sendiri tentang banyak hal. Tentang teori eksistensialisme minyalnya -- Fauzil gemar melahap buku-buku filsafat. Ia berkesimpulan bahwa filsafat tersebut hanyalah kedok untuk membungkus kelemahan dan ketidakberdayaan filsufnya. ''Kalau begitu, berarti bukan ini yang dinamakan eksistensialisme,'' tegasnya.

Penerungannya membuat Fauzil sedikit limbung. Tentang dunia teater, misalnya. ''Semboyan teater adalah mengembalikan manusia pada fitrahnya. Namun, bagaimana mungkin mengembalikan manusia ke fitrahnya, kalau tidak paham apa arti fitrah itu sendiri?''

Berbagai pertanyaan itu berakumulasi dan akhirnya bermuara pada kesadaran Fauzil untuk mencari jalan hidup yang benar. Kesimpulannya, jalan hidup yang benar adalah yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya melalui Alquran dan Hadis.

Maka, sejak akhir kelas II SMA, Fauzil mencukur rambut gondrongnya. Ia yang sewaktu SMP aktif menulis resensi musik di media massa, mulai kelas II SMA rajin menulis artikel-artikel tentang pendidikan dan keluarga. Saat itu, ia juga sudah mulai memasukkan nilai-nilai keislaman ke dalam naskah cerpen dan skenario yang ditulisnya -- meskipun tidak verbal. Fauzil juga ikut bergabung dengan remaja masjid.

Kesadaran itu terus berlanjut saat ia kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ketika itu ia terus aktif menulis, baik cerpen, reportase, maupun nonfiksi. Ketika kuliah itulah, Fauzil mendapakan momentum kesadaran yang lebih tinggi lagi. Boleh dikatakan, inilah titik balik yang paling menentukan dalam kehidupannya. Suatu hari, seorang teman seangkatannya yang selama ini aktif menggerakkan kegiatan keislaman di kampus, meninggal dunia.

Dua minggu sebelum meninggal, dalam keadaan sakit teman itu datang kepada Fauzil. Ia berwasiat kepada Fauzil agar meneruskan perjuangan dakwah. Ia juga mengusulkan kepada Fauzil agar segera menikah, membina rumah tangga, dan menyiapkan generasi rabbani yang senantiasa bersandar pada nilai-nilai Islam. ''Ketika berada di pemakaman, saya merenung. Teman saya itu, saya yakin meninggal dunia dalam keadaan baik (husnul khatimahBagaimana saya nanti?'' tutur Fauzil.

Sejak itu, Fauzil makin aktif berdakwah. Baik lewat tulisan maupun ceramah. Ia kerap diundang berceramah di berbagai kampus. Bahkan, ia sempat diundang ke Singapura. a pun menikah muda, umur 24 tahun, saat masih kuliah. Istrinya, seorang wanita Bugis bernama Mariana Anas, yang kini telah memberinya empat orang anak. Oktober 2005, insya Allah akan lahir anak kelima.

Awalnya secara finansial, kehidupannya berat. Mereka tinggal di rumah kontrakan kecil yang atapnya bocor. Tidur di atas tikar bekas dan koran, serta bantal terbuat dari gulungan kain bekas. Mereka pun kerap kehabisan uang. ''Namun Alhamdulillahsemua itu dapat kami lalui dengan sabar dan berkah,'' ujarnya.

Kini, Fauzil merupakan penulis dan dai yang dijuluki "dai kosmopolitan". Menguasai bahasa Inggris, menguasai teater, mengerti tentang fotografi, desain, dan lay outbuku. Juga paham tentang perkembangan terbaru di bidang teknologi informasi. Kalau ceramah, ia sering menggunakan rekaman peristiwa, lagu, dan foto-foto tentang manusia, alam serta lingkungan yang membuat jamaah terdiam, terkesima, bahkan menangis.

Mohamamd Fauzil Adhim pun sangat piawai membuat para pendengarnya tetap memasang mata dan telinga untuk memperhatikan ceramah-ceramahnya. Kemampuannya berorasi sangat memukau. Tentu, bekal teaternya turut mendukung sukses dakwahnya. a kerap diundang sebagai penulis maupun penceramah ke berbagai kota di Indonesia, maupun manca negara, termasuk Hongkong, Singapura, Malaysia, dan Mesir.

Mantan dosen Fakultas Psikologi UII Yogyakarta itu kini hidup sepenuhnya dari menulis. Di samping itu, ia pun mengabdi sebagai guru nonakademik di SD IT Hidayatullah Yogyakarta.

( Oleh: Irwan Kelana )

http://www.republika.co.id/

Tidak ada komentar: