Minggu, 27 Juli 2008

Reformasi ala Abdul Qadir Al-Jailani

"Cukuplah bagimu dua hal dari dunia ini: menjadi sahabat kaum miskin dan mengambil jarak dengan para pemegang kebijakan.Bersikaplah di hadapan orang kaya dengan penuh kemulian.Sebaliknya, merendahlah kepada orang-orang miskin," pesan Abdul Qadir kepada Abdur Razzak, anaknya.

Peran Abdul Qadir al-Jailani dalam gerakan pembaharuan sudah ada jauh sebelum 1127 M. Awalnya hanya diikuti satu dua orang. Selanjutnya bertambah menjadi 70 ribu jamaah. Ternyata respon masyarakat tak hanya sebatas itu. Karena mem-bludak, madrasah penuh sesak. Inilah yang memaksa Abdul Qadir keluar ke jembatan Baghdad untuk menjalankan taklimnya.
Melihat antusias penerimaan masyarakat, ia menerapkan metode taklimnya lebih sistematis. Pengajaran yang dilakukan terporgram, termasuk ceramah umumnya disusun lebih terarah. Sebagai realisasi dari dua tujuan besar ini, ia membangun madrasah pada 1133 M yang sebelumnya kecil didirikan gurunya. Setelah sang guru wafat, Abdul Qadir meneruskannya.
Dari madrasah ini, murid-muridnya dibekali pengetahuan dalam tentang perkara yang menyangkut ilmu agama. Temasuk wawasan tentang perbandingan madzhab, gerakan pemikiran dan keyakinan. Abdul Qadir juga membekali para muridnya, bagaimana mengomunikasikan gerakan pembaharuan kepada masyarakat dengan baik.
Seluruh aktivitas ini ia lakukan di madrasah. Bagi para pendatang yang ingin belajar, disiapkan tempat tinggal khusus. Dengan demikian, seluruh waktu Abdul Qadir hampir habis untuk para muridnya.
Selain reformasi di bidang pengetahuan agama dan wawasan ke-Islaman, Abdul Qadir juga sangat konsen pada spiritulias. Para muridnya diarahkan pada jiwa yang tulus dan bersih. Sehingga para muridnya merasakan betul, apa yang dilakukannya merupakan upaya untuk melanjutan dakwah Rasul saw.
Untuk itu, ia memberikan rambu pada muridnya. Di antaranya, tidak mudah bersumpah dengan nama Allah dalam posisi benar atau salah, sengaja atau tidak. Meninggalkan kebohongan. Memenuhi janji. Tidak gampang melaknat ciptaan Allah SWT. Tidak gampang mengkafirkan kaum Muslimin, tidak mudah mensyirikkan kalangan dari ahlul kiblat. Tidak bergantung kepada makhluk atau berharap kepada sesama terutama dari sisi finansial.
Tak hanya untuk para murid di madrasah, pembinaan masyarakat luas pun menjadi titik penting dari reformasinya. Uniknya, transformasi dilakukan secara sistematis lewat para muridnya. Sehingga pola interaksi muridnya kepada masyarakat sangat diprioritaskan. Murid-muridnya diajarkan membangun komunikasi yang baik, dengan bahasa dan akhlak yang santun.
Masyarakat dibangkitkan dari kebodohan, kemalasan, keterpurukan dan ketebelakangan. Secara khusus Abdul Qadir mengajarkan agar pengetahun yang dimiliki muridnya tidak untuk mengambil manfaat sesaat. Namun justru mereka ditekankan untuk memiliki finansial yang mandiri dengan menjalankan aktivitas bisnis sesuai kaidah muamalah dan tingkat amanah yang tinggi.
Selain itu, pola penghormatan yang lebih muda kepada yang lebih tua juga menjadi titik perhatiannya. Murid-muridnya dibekali dengan pengetahuan bagaimana berkomunikasi dengan para ulama atau tokoh masyarakat setempat, termasuk dengan para pejabat. Abdul Qadir sadar betul, terciptanya masyarakat harmonis dan berkwalitas dengan memerhatikan pilar-pilar penyangga masyarakat ini.
la sadar, tantangan keburukan akhlak juga dirasakannya sebagaimana sekarang. Tentunya, dengan tingkat prosentase yang berbeda. Keburukan akhlak diilustrasikan dengan sikap kaula muda yang suka pamer, tidak konsisten, berbuat aniaya, terjerumus dalani kesyubhatan dan hal-hal yang diharamkan.
Dalam sebuah taujih-nya, Abdul Qadir sangat miris dengan akhlak masyarakat yang begitu kosong dan tak punya kesinambungan dengan ruh ibadah mahdhah yang mereka laksanakan. "Zaman ini zaman pamer, penuh topeng, zaman yang menganggap biasa mengambil harta yang bukan haknya. Betapa banyak orang mendirkan shalat, puasa, haji dan berzakat serta ibadah sosial lainya untuk sesama. Namun sayang itu semua untuk mahluk bukan untuk Sang Khalik. Saya melihat manusia seoalah tidak punya Pencipta. Kalian manusia yang mati hati namun bergerak secara fisik. Hanya bergerak untuk mengejar kepentiangan dunia sesaat," tuturnya.
Namun yang tidak kalah unik dari sosok Abdul Qadir, perhatiannya pada kaum papa dan orang-orang yang terpiggirkan. Saat itu, perpecahan politik dan kehausan kaum elit akan kekuasan berdampak buruk pada masyarakat luas. Efeknya, masyarakt kecil menjadi korban krisis yang pertama. Sejak saat itu, ia memelopori gerakan kepedulian.
Para pemimpin dan orang berada difatwakan sebagai kelompok egois. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Makan dengan makanan yang terbaik, pakaian indah, penampilan gelamor, rumah mewah serta harta berlimpah. Semua itu mereka tampilkan tanpa sadar dengan situasi sekeliling.
Abdul Qadir menganggap para pemimpin dan orang berada seperti ini, sebagai kelompok penganut Islam yang penuh kedustaaan. Mengingkari kebersaksian mereka kepada Allah sebagai Rabb dan Muhammad saw sebagai Rasul.
Puncak keprihatinan Abdul Qadir terhadap sikap pemimpin dan orang berpunya kepada kaum papa, disampaikan dalam sebuah pesan kepada anaknya. Sebuah pesan yang dalam, pesan lintas generasi agar menjadi fokusya di kemudian hari bila terjadi peristiwa serupa. "Cukuplah bagimu dua hal dari dunia ini: menjadi sahabat kaum miskin dan mengambil jarak dengan para pemegang kebijakan. Bersikaplah di hadapan orang kaya dengan penuh kemulian. Sebaliknya, merendahlah kepada orang-orang miskin," pesan Abdul Qadir kepada Abdur Razzak, anaknya.
Kepedulian lain dari Abdul Qadir adalah membentengi masyarakat dari pengaruh Syiah dan gerakan pemikiran sesat. Namun sebagai ulama dan pemikir, cara-cara persuasif selalu dikedepankan. Termasuk perhatiannya di internal umat Islam. la selalu mengarahkan murid dan masyarakat agar tidak terjerumus pada fanatisme madzhab. Contohnya, masyarakat tidak terjebak pada hal-hal kecil seperi perbedaan hukum bermain catur antara pendapat pengikut Imam Hambali dan Imam Syafi'i.
Namun yang tidak kalah pending dari semua rangkain yang dilakukannya, mereformasi dunia tasawuf. Pada bagian ini banyak kaum Muslim salah paham dengan gerakan yang dipelopori Abdul Qadir. Padahal, ia sangat konsen pada pelurusan pemahaman tasawuf. la dengan tekun mengembalikan makna tajarrud yang sebenarnya. Termasuk mengembalikan makna yang benar dari konsep zuhud.
Secara berkala juga, Abdul Qadir mengunakan metode dialog ilmiah dengan para "ekstrim" sufi untuk meluruskan mereka. Sehingga tasawuf yang dimaksud benar-benar mencari kebenaran Allah SWT, zuhud yang positif terhadap dunia, mengeluarkan ketergantungan dengan makhluk dari hati serta memenuhinya dengan kebesaran Allah Ta'ala. (Majalah al Mujtama/Azhar Suhaimi)

[Majalah Al Mujtama Edisi 2 Th 1/29 Jumadil Ula 1429/3 Juli 2008]

Tidak ada komentar: