Jumat, 29 Agustus 2008

“Mencermati Pesan Ganda Iran Menjelang Ramadhan”

Di saat bangsa Indonesia sibuk lomba balap karung, Iran justru meluncurkan satelit. Fase baru perkembangan sebuah perang dingin


Oleh Musthafa Luthfi *

Tradisi menyambut bulan puasa khususnya di dunia Arab telah berubah terutama sejak maraknya stasion-stasion TV satelit dalam rentang waktu dua dekade belakangan ini yang lebih menonjolkan hiburan-hiburan di layar kaca untuk menunggu waktu sahur.

Tradisi lainnya yang hampir menyeluruh di seluruh dunia Islam adalah meningkatnya kebiasaan komsumtifisme yang terkesan berlebihan. Stasion-stasion TV satelit menjadi sarana iklan besar-besaran bagi produk makanan menjelang bulan Ramadhan tiba.

Karena itu, biasanya sebelum sebelum Ramdhan tiba, bau puasa demikian terasa di negara-negara Arab dengan maraknya iklan-iklan sinetron terbaru menarik yang siap ditayangkan terutama di malam Ramadhan hingga menjelang sahur agar mata siap melek sepanjang malam.

Demikianlah, tradisi yang makin sulit untuk dihilangkan bahkan cenderung makin “meriah” yang menyebabkan tujuan puasa La’allakum Tattaquun (menjadi hamba-hamba yang bertakwa) makin sulit tercapai. Puasa akhirnya tak lebih sebatas menahan lapar dan dahaga.

Menjelang puasa kali ini, ada kejadian penting yang patut dicermati kaum Muslimin terlepas dari mazhab dan aliran yang dianutnya. Sekitar dua pekan menjelang bulan suci tiba, Iran telah menyebarkan dua pesan ganda, pertama ditujukan kepada dunia Barat dan kedua sebagai risalah (pesan) buat kaum Muslimin terutama kalangan pakar dan cendekiawan.

Sekitar pertengahan bulan Sya`ban yang lalu bertepatan dengan bulan Agustus , Iran berhasil menguasai teknologi luar angkasa dengan meluncurkan satelit buatan sendiri. Teknologi ini tidak kalah pentingnya dengan penguasaan teknologi nuklir untuk tujuan damai yang telah dicapai sebelumnya.

Secara kebetulan peluncuran satelit pertama negeri Mullah itu bertepatan dengan hari Minggu, 17 Agustus 2008 yang bertepatan dengan peringatan 63 tahun kemerdekaan RI yang hampir setiap tahun dimeriahkan dengan berbagai acara yang terkesan “hura-hura” yang sudah banyak ditinggalkan negara lain seperti negeri jiran kita, Malaysia.

Pada saat bangsa Indonesia sedang asyik dengan aneka hiburan pesta rakyat seperti upaya pemecahan rekor panjat pinang, lari karung dan “dangdutan”, Iran secara mengejutkan mengumumkan peluncuran satelit pertama sehingga memasukkannya dalam daftar 10 negara produsen satelit di dunia disamping AS, Rusia, sejumlah negara Eropa, China, Jepang dan India .

Meskipun teknologi luar angkasa negeri Persia itu masih tahap pemula dibandingkan negara-negara maju lainnya, namun yang perlu dicatat adalah, keberhasilan tersebut berlangsung pada saat Iran diembargo secara ketat oleh Barat sejak sekitar 30 tahun yang lalu.

Iran saat ini mampu menempatkan satelit di orbit seputar bumi dengan ketinggian sekitar 600 km. Teknologi balastik yang digunakan untuk membawa satelit ke angkasa juga bisa digunakan untuk meluncurkan senjata, namun Teheran menyatakan tidak berencana melakukan hal tersebut.

Meskipun demikian, Iran tidak akan ragu-ragu menggunakan kemampuan balastiknya guna mempertahankan diri atau untuk membalas serangan luar baik dari Israel maupun AS. Komandan Garda Revolusi Iran , Jenderal Ali Ja`fari Rabu (27/8) menegaskan tentang hal tersebut.

“Evaluasi strategi yang kita lakukan mengisyaratkan kemungkinan pemerintah Zionis (Israel ) melakukan serangan sendiri atau dengan bantuan AS. Bila terjadi maka seluruh kawasan terancam sebab Israel tidak memiliki kedalam startegis karena berada dalam jangkauan rudal-rudal Iran ,” paparnya.

Pesan kepada Barat

Pesan pertama kepada Barat bahwa Iran secara jelas telah berhasil melepaskan diri dari berbagai upaya dan belenggu Barat untuk tetap menjadikan negeri Mullah itu sebagai salah satu negara terbelakang di dunia ketiga.

Embargo teknologi secara ketat yang dilakukan Barat akhirnya terbukti tidak mampu menghentikan usaha keras negeri kaya minyak Teluk itu untuk menguasai teknologi super canggih seperti teknologi luar angkasa yang selama ini hanya monopoli negara-negara besar.

Masih teringat pada tahun 80-an dan 90-an abad 20 lalu, ketika Indonesia akhirnya urung menjual sejumlah helikopter produk IPTN saat itu ke Iran atas desakan AS karena dikhawatirkan dimanfaatkan untuk tujuan militer. Negara-negara di dunia yang berada dibawah ketiak Washington pun melakukan embargo serupa.

Segala kesulitan yang dihadapi oleh negeri itu tidak membuatnya putus asa bahkan saat ini berhasil memproduksi pesawat-pesawat tempur dengan jarak jelajah 3 ribu kilo meter non stop tanpa memerlukan pengisian bahan bakar di udara.

Ketika TV Iran menayangkan peluncur roket mutakhir yang dapat membawa satelit ke orbit, nampak para pemimpin Barat dalam keadaan penuh kekhawatiran dan sikap kecewa yang berlebihan. Tidak ada yang tersisa dari Barat untuk mencoba kembali menggoyang negeri Persia itu kecuali dengan memutar kembali kampanye sebelumnya tentang keanggotaan Iran sebagai poros jahat yang mendukung terorisme.

Di lain pihak sebagian kekuatan Eropa terutama Rusia ditambah Cina, Jepang dan India mulai bersikap menerima anggota baru dalam klub nuklir dan teknologi angkasa luar. Karena dengan kemampuan Iran ``berswasembada`` teknologi mutakhir, sudah tidak ada lagi manfaatnya untuk mengganjal negeri itu menguasai teknologi nuklir dan luar angkasa.

Sedangkan pesan kedua adalah ditujukan kepada negara-negara terkemuka di dunia Islam seperti Indonesia , Turki, Mesir , Pakistan dan Saudi Arabia . Pesan ini juga ditujukan kepada dunia ketiga di negara-negara Amerika Latin, Afrika dan Asia .

Negara-negara tersebut sebenarnya dapat bangkit dengan kemampuan kolektif yang mereka miliki selama memiliki political will (kehendak politik) untuk menentukan nasib sendiri. Dunia Islam harus segera melepaskan kendala pisikis dan semangat juang yang lembek selama ini akibat belenggu Barat.

Dunia Islam terutama negara-negara Arab sebenarnya memilki sumber daya manusia (SDM) yang handal di bidang penguasaan teknologi mutakhir. Namun karena situasi politik dalam negeri masing-masing yang tidak kondusif, menyebabkan mereka lebih memilih dunia Barat sebagai tempat mengamalkan kemampuannya sehingga hanya dimanfaatkan untuk kepentingan Barat.

Sudah menjadi rahasia umum sejak lama bahwa lebih dari separo pakar-pakar terkemuka di berbagai bidang sains di dunia Barat berasal dari keturunan negara-negara dunia ketiga. Dalam konteks ini Iran sering menegaskan tekadnya untuk menjadikan kemampuan teknologi yang dimilikinya untuk kepentingan dunia ketiga terutama negara-negara Islam.

Persekutuan baru

Prestasi Iran tersebut yang dibarengi dengan perkembangan penting di kawasan Laut Hitam terutama “unjuk otot” Rusia di Georgia menghadapi AS dan Barat memunculkan wacana persekutuan baru. Bahkan sebagian analis menyebutnya sebagai kembalinya perang dingin dalam bentuk lain.

Seperti dimaklumi rezim Georgia pimpinan Presiden Mikhail Saakashvili adalah antek AS yang berusaha untuk menggabungkan negaranya dengan Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Uni Eropa (EU). Dengan demikian konflik di Georgia soal Ossetia Selatan seperti perang antara Rusia dan AS.

Selama dekade terakhir ini pandangan dunia hampir sama bahwa Rusia dibawah Mikhail Gorbachev dan Borris Yeltsin telah berubah menjadi sebuah negara dibawah pengaruh Barat terutama ditinjau secara ekonomis. Namun Presiden Vladimir Putin dan dengan dukungan kuat militer mengembalikan wibawa Rusia sebagai salah satu negara besar yang disegani.

Putin mulai mengembalikan wibawa Rusia dan menjadi salah satu unsur penentu dalam percaturan dunia menghadapi hegemoni AS. Perang Georgia terakhir dan pengakuan Moskow atas kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia makin menunjukkan bahwa Rusia merupakan kekuatan yang dapat mengembalikan wibawa bekas Uni Soviet pada masa perang dingin dulu.

Perkembangan diatas menunjukkan fase baru sebuah perang dingin antara dua kekuatan. Tidak sulit untuk memprediksikan bahwa perang dingin tersebut akan meluas sehingga meliputi kawasan Timur Tengah yang membersitkan isyarat akan kesediaan Moskow untuk membangun persekutuan strategis termasuk dengan bergabungnya Iran dan sebagian negara Arab menghadapi dua sekawan AS-Israel.

Yang masih menjadi pertanyaan apakah ada negara Arab yang menyusul Suriah yang berani mengatakan ``tidak`` kepada Washington dalam kondisi negeri adidaya itu yang sedang lemah. Dan bagi negara Islam lainnya seperti Indonesia apakah harus menunggu dimusuhi AS ``lahir-batin`` (sebab secara batin AS memusuhi dunia Islam) baru bangkit melepaskan diri dari pengaruh AS seperti Iran ??? [www.hidayatullah.com]



Penulis lepas, mantan wartawan ANTARA. Kini sedang bermukim di Yaman

Hidayatullah.com

Tidak ada komentar: