Jumat, 31 Agustus 2007

Mendidik Anak dengan Al-Quran

Oleh: Abdullah

Sejak wahyu pertama diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, pendidikan terhadap umat Islam mulai berlaku. Hingga akhir zaman, sesungguhnya, umat Islam tidak pernah lepas kehidupannya dari pendidikan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman pada ayat pertama yang di turunkan-Nya:

“Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang belum diketahuinya.” (Al-‘Alaq: 1-5)

Pada ayat lain, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang berselimut. Bangunlah, dan beri peringatan. Dan besarkanlah nama Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu. Dan tinggalkanlah dosa. Janganlah engkau memberi supaya mendapat yang lebih banyak. Dan bersabarlah (menurut perintah Tuhanmu).” (Al-Mudatsir: 1-6)

Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, yang dikutip oleh Didin Hafidhuddin dalam Dakwah Aktual; 1998, menyimpulkan isi kandungan ayat-ayat di atas, menurutnya paling tidak mengandung empat macam pendidikan.

Pertama, pendidikan Akidah. Yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan mempersekutukan dengan berhala, Sebab itu, hendaklah dihilangkan berhala itu sejauh-jauhnya dari kehidupan muslimin. Kedua, pendidikan aqliyah dan ilmiah. Yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah (‘alaq) dan kejadian alam semesta. Karena alam akan mengajarkan pendidikan kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya. Untuk mempelajari hal itu haruslah banyak membaca dan menyelidiki serta memakai pena untuk mencatat.

Ketiga, pendidikan akhlak dan budi pekerti. Terutama bagi si pendidik, hendaklah mengajar tanpa mengharapkan balasan dari orang yang di ajarnya, melainkan ikhlas karena Allah semata dengan mengharapkan keridhaan-Nya. Hal ini diharapkan menurun kepada anak didiknya, sehingga akan melahirkan manusia-manusia cerdas yang berakhlak dan budipekerti baik, sesuai nilai-nilai Islam. Dan keempat, pendidikan jasmani. Yaitu mementingkan kebersihan; bersih pakaian, bersih badan—termasuk bersih hati, dan bersih tempat kediaman, sehingga menjadi contoh dan teladan bagi anak didik.

Dengan demikian pendidikan memegang peranan penting dalam pembinaan umat Islam agar mereka dapat meraih status khaira ummah.


Menghindari Anak Dari Kegilaan Masa Kecil

Al-Ghazali menyatakan, “Anak adalah amanah di tangan ibu-bapaknya. Hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya. Apabila ia dibiasakan pada suatu yang baik dan dididik, niscaya ia akan tumbuh besar dengan sifat-sifat baik dan akan bahagia di dunia akhirat. Sebaliknya, bila ia dibiasakan dengan tradisi-tradisi buruk, tidak dipedulikan seperti halnya hewan, niscaya ia akan hancur dan binasa.”

Anak tak ubahnya selembar kertas putih. Apa yang pertama kali ditorehkan di sana, maka itulah yang akan membentuk karakter dirinya. Bila yang pertama ditanamkan adalah warna agama dan keluhuran budi pekerti, maka akan terbentuk antibody (zat kebal) awal pada anak akan pengaruh negative, seperti benci kesombongan, rajin ibadah, tidak membangkang pada orang tua, dan sebagainya. Sebaliknya, bila pertama tidak ditanamkan warna agama dan keluhuran budi pekerti, maka yang akan muncul adalah antibodi terhadap pengaruh positif, seperti malas beribadah, malas belajar, gila pujian, angkuh, dan sebagainya. Jika hal demikian dibiarkan, maka (setelah dewasa) sukarlah untuk meluruskannya. Pepatah bijak menyatakan, “Barangsiapa membiasakan sesuatu semenjak kecil maka dia akan terbiasa dengannya hingga dewasa.”

Menurut Ahmad Syarifuddin dalam bukunya “Mendidik anak; Membaca, Menulis dan Mencintai Al-Qur’an”, menyatakan, para ulama mengatakan ada penyakit berbahaya yang biasa hinggap pada kalangan anak kecil yang disebut dengan penyakit “jununus shaba” (kegilaan masa kecil), yaitu satu kecenderungan buruk, noda hitam kedurhakaan, dan bibit kesesatan pada anak yang berasal dari semaian hawa nafsu maupun setan. Penyakit ini kerap berjangkit pada anak yang tidak ditanamkan pendidikan yang baik sejak dini kepadanya.

Atas dasar ini mendidik anak sejak dini merupakan hal yang sangat perlu dan mendasar dilakukan. Seluruh elemen masyarakat khususnya orang tua hendaknya tidak mengabaikan hal ini. Apalagi “belajar di waktu kecil laksana melukis di atas batu dan belajar di waktu besar laksana melukis di atas air”. Mengenai pentingnya faktor pendidikan ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (QS: At-Tahrim: 6)

Mengenai makna yang dikandung ayat ini, sahabat Ali bin Abu Thalib ra., berkata, “Ajari dan didik anak-anakmu pendidikan yang baik.” Sedangkan Hasan Al-Bashri berkata, “Suruhlah mereka taat kepada Allah dan didiklah mereka ajaran kebaikan.”

Kandungan ayat tersebut dikuatkan dengan hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, “Setiap kamu adalah penggembala (pemimpin) dan setiap kamu pasti akan diminta pertanggungjawaban dari gembalaannya…seorang laki-laki (ayah) adalah penggembala dari keluarganya dan akan diminta pertanggungan jawab dari gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Menjaga Fitrah Anak

Pendidikan pada anak juga berfungsi agar kehanifan anak (kelurusan dalam meniti kebenaran) tetap terjaga. Keberagamaannya bagus. Ia senantiasa akrab dan dekat sekaligus teguh dengan kebenaran. Cahaya hikmah senantiasa menyertainya. Sedangkan tipu daya setan yang hendak menghilangkan kehanifan itu bisa dihindari. Dalam hadits qudsi dinyatakan.

“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku secara hanif (lurus, cenderung kepada fitrah, beragama Islam) seluruhnya. Sesungguhnya setan-setan datang lalu mengalihkan hamba-hamba-Ku itu dari agama mereka semula (Islam).” (HR. Muslim shahih Muslim II/650 no 2865)

Pihak yang bertanggungjawab penuh dalam memperhatikan aspek pendidikan anak ini adalah orang tua. Orang tualah yang mengukir anaknya sendiri dengan pendidikan itu. Dia menjadikan anaknya saleh, tidak saleh, atau kafir, bergantung kemauannya. Rasulullah bersabda:

“Setiap bayi dilahirkan atas fitrah (tauhid, iman). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari I/240)

Karena dominasi peran ini, hendaknya orang tua serius memperhatikan akan-anaknya dalam rangka melestarikan fitrahnya, menjaga kehanifah agamanya, dan menanamkan padanya warna budi pekerti yang luhur, sehingga kelak anak menjadi generasi penerus yang tangguh, kokoh, dan kuat mentalitas keimanannya. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nissa: 9)

Ayat ini bermakna seruan terhadap orang tua agar tidak meninggalkan generasi penerus (anak-anak) yang lemah, tidak saja dari segi materi (ekonomi), namun yang lebih rawan adalah kelemahan dari segi mental spiritual. Menurut pandangan akidah Islam, mental yang lemah dari suatu generasi sangat dikhawatirkan, dibandingkan sekedar lemah secara materi. Dan jalan untuk mengokohkan mental yang elegan adalah melalui perhatian terhadap aspek pendidikan anak-anak tersebut.


Takhtim

Memasuki era globalisasi dengan segala perangkatnya (kemajuan teknologi, komunikasi, dan informasi), setiap orang tua memerlukan perhatian yang ekstra terhadap pendidikan anak-anaknya. Selain membawa harapan positif, era globalisasi juga melahirkan tantangan baru terhadap pembentukan kepribadian anak. Para pakar menyatakan tidak ada lagi ideologi-ideologi besar dunia saat ini yang mampu menghadang arus negafit dari globalisasi yang melanda dunia saat ini, kecuali agama (Islam). John Naisbit dan Patricia Aburdene, dalam buku Megatrend 2000, menyatakan bahwa era baru ini merupakan era kebangkitan agama, dalam artian agama merupakan alternatif bagi umat manusia untuk dapat mempertahankan identitas kemanusiaan. (Didin Hafidhuddin, 1998).

Sebab itu, membentuk generasi yang berkualitas merupakan tanggungjawab moral bagi setiap orang tua. “dzurriyatan dhiafa khafu ‘alaihim” generasi lemah yang dikhawatirkan kesejahteraan mereka, tidak bisa diartikan secara sempit hanya dilihat dari segi materi tanpa memperhatikan segi imateri (moral dan akidah). Moral dan akidah ini justru merupakan hal yang sangat esensi, karena meninggalkan generasi yang sejahtera harus dilihat dari segi manusia seutuhnya. Dan TAKWA merupakan kunci dasar pembinaan terhadap pribadi dan keluarga dalam upaya menciptakan generasi yang berkualitas tersebut.

www.jamaahmuslimin.com