Selasa, 25 September 2007

Dunia Tanpa Sekolah, Mungkinkah? (Kisah Nyata Seorang Anak Usia 15 tahunyang Terpenjara oleh Sekolah Formal)

Penulis : M.Izza Ahsin
Tebal : 252 hlm
Penerbit : Read! Publishing House (Kelompok Mizan)
Cetakan : I, April 2007

Di negara ini, anak sekolah yang drop out banyak. Ada berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Yang paling utama, faktor ekonomi. Alias ketidakmampuan membayar ongkos pendidikan yang semakin mahal dari hari ke hari. Namun, di kota kecil di Jawa Tengah, Salatiga, ada seorang anak sekolah menengah pertama (SMP) memutuskan untuk berhenti sekolah tiga bulan menjelang ujian nasional (UN). Bukan karena takut tak lulus melainkan ingin konsentrasi menulis.

Muhammad Izza Ahsin Sidqi, menuliskan kisah yang dialaminya dalam buku ini. Buku ini menuturkan kegalauan seorang Izza yang merasa terkungkung di dalam penjara yang bernama sekolah. Meski ia bersekolah di sekolah paling favorit dan terbaik di kotanya, tetapi ia tak menemukan kondisi ideal di sana. Guru-guru yang masih mengajar secara konvensional dan senang “meneror” secara fisik maupun mental dengan dalih disiplin dan supaya anak didik menguasai bahan ajar membuat Izza yang dkenal sebagai murid pendiam dan bukan pembuat onar “memberontak”. Puncaknya, ia meminta ijin kepada kedua orangtuanya untuk berhenti sekolah. Apa reaksi sang ayah dan ibu? Marah besar. Apalagi mereka adalah guru-guru berprestasi. Apa kata dunia jika anak guru tak sekolah?

Izza bukanlah anak yang bodoh. Kebiasaan membaca buku-buku “berat” sedari sekolah dasar (SD) membuatnya punya wawasan yang melebihi seorang mahasiswa sekalipun. Gayanya menulis menunjukkan betapa ia telah banyak belajar dari buku-buku yang dibacanya itu. Dalam bukunya ini Izza mengisahkan bagaimana ia berusaha meyakinkan kedua orang tuanya selama delapan bulan agar mengijinkannya berhenti sekolah. Adu argumen, bahkan pecahan piring karena bantingan sang ayah mewarnai diskusi-diskusi mereka.

Pada halaman 30, pembaca dapat mengetahui perdebatan antara Izza dan ayahya. “JANGAN PERNAH BERPIKIR SEPERTI ITU! Tidakkah lebih baik bagimu hidup seperti air mengalir saja dan berhasil dalam menulis dan sekolah? Menyatakan diri tak mau sekolah sama saja ingin menanggung malu! ORANG AKAN MENGANGGAPMU SOMBONG, NAKAL, DAN TAK TAHU DIRI!” kata ayahnya.

Apa pula jawaban sang anak? “Aku tidak bisa berhasil dalam keduanya. Aku tidak peduli komentar orang lain kalau misalnya aku diijinkan… Sekarang yang paling penting bagiku adalah menulis, tak ada hal lain! Dan aku hanya ingin bebas! Sekolah seperti penjara yang mengurungku dalam ketidakpastian.... aku bisa menciptakan sekolahku sendiri. Dengan ajaran berbagai buku, aku bisa belajar sendiri!”

Menarik sekali apa yang dikatakan Izza, “aku bisa belajar sendiri!” Bukankah inilah esensi dari sekolah (belajar) itu? Yakni membuat orang sekolah (belajar) mau belajar. Tapi apa yang kita lihat saat ini? Banyak orang yang sekolah tetapi tidak mau belajar.

Salah siapa? Mungkin ini semua salah kita. Karena kita seringkali hanya menilai kecerdasan berdasarkan tinggi atau tidaknya pendidikan formal seseorang. Padahal belajar itu dapat dilakukan dimana saja (bukan hanya di sekolah) dan sepanjang hayat (bukan dibatasi oleh waktu sembilan tahun). Dan yang terpenting belajar (memperoleh pendidikan) bukanlah kewajiban melainkan hak anak!

Lagipula menurut Einstein, pendidikan adalah sesuatu yang tidak terlupakan di kepala sampai kapan pun, serta memberi kesan mendalam kepada yang menimbanya. Namun, sekolah kita mengharuskan penguasaan segala disiplin ilmu pada waktu yang bersamaan dan tidak mengakomodasi perbedaan minat (hlm 95).

Dalam buku ini, juga diceritakan bagaimana Izza berusaha mewujudkan impiannya menyempurnakan novel pertamanya. Sepuluh jam sehari dihabiskan untuk riset, mengetik dan merevisi naskah. Inilah salah satu alasan Izza keluar dari sekolah. Ia ingin fokus menggapai menulis.

Ingat Anggun dan Agnes? Mereka adalah orang-orang yang fokus di bidangnya. Anggun rela meninggalkan tanah airnya dan tidak menamatkan SMA. Namun, ia berhasil menjadi penyanyi internasional. Siapa pula yang tak tahu Agnes. Artis multitalenta dan berhasil dalam akademis (pintar), rela “berhenti sementara” dari kuliahnya demi usahanya untuk go international. Demikian juga Izza, meski belum menjadi penulis besar tetapi berani melawan arus untuk menggapai impiannya. Mereka semua sesungguhnya adalah orang-orang yang berhasil. Karena, hakikat keberhasilan itu adalah tatkala seseorang memiliki pilihan hidup. Bukankah begitu?

[NURZANNAH, A. M, / www.tkmasjidsyuhada.com]